Jumat, 19 Desember 2014

Bayang-bayang Sepanjang Jalan

Selama mengikuti kegiatan Jelajah Sepeda Manado-Makassar yang diselenggarakan oleh Harian KOMPAS pada medio hingga akhir Agustus 2014 masih terdapat pengalaman yang menarik untuk ditulis. Penjelajahan berlangsung sejak pagi hingga sore hari bahkan beberapa diantaranya hingga malam hari. Oleh karena itu, setiap hari rombongan saat menjalani etape per etape selalu terpapar sinar matahari. Hanya satu jam saja iringan goweser tidak terkena sinar matahari. Ketika itu terjadi di etape ketiga dari Lolak (Bolaang Mongondow) menuju Boroko (Bolaang Mongondow Utara) pada sore hari sempat merasakan guyuran air hujan.

Selama penjelajahan tersebut mulai dari utara hingga selatan Sulawesi ada sesuatu yang menarik untuk dilihat. Ketika terpapar sinar matahari mulai dari pagi hingga sore akan muncul bayangan. Bisa dikatakan sebagai bayangan yang terpanjang karena selalu ada ketika menyusuri jalan sejauh hampir 1.600 km. Bayangan bisa muncul karena ada bagian yang tidak mendapatkan sinar matahari. Bayangan yang timbul tergantung waktu bersinarnya matahari, saat pagi dan sore hari bayangan yang timbul lebih panjang dari bendanya sehingga menarik untuk diabadikan baik dengan kamera poket maupun kamera telepon pintar. Pada matahari siang hari membentuk bayangan yang keras hasilnya sehingga kurang menarik untuk diabadikan. Elemen pendukung yang terdapat di sekitarnya harus dilibatkan dalam pengambilan gambar.
"Bayang-bayang berarti ruang yang tidak kenar sinar karena terlindung benda" 
(Kamus Besar Bahasa Indonesia) 

Beberapa foto rombongan dengan bayangan yang berhasil saya abadikan saat menjelajahi tanah Sulawesi selama 14 etape sebagian besar diambil pada pagi dan sore hari. Adapun foto yang saya abadikan di siang hari hanya sedikit karena kurang menarik dan untuk menyiasati foto tersebut agar enak untuk dilihat caranya dengan mengikutsertakan keadaan sekitarnya. Kombinasi antara rombongan pesepeda dengan bayangan yang dihasilkan dan bentangan alam juga menarik untuk diabadikan. Hampir semua foto yang saya tampilkan ini diabadikan ketika berada di posisi sedang meng-gowes.

Bayangan yang dihasilkan saat iringan pesepeda yang berbaris rapi ketika menjalani etape terakhir dari Pangkep menuju Makassar sejauh 58 km, Minggu (31 Agustus 2014).


Bayangan yang terbentuk ketika hari masih pagi menghasilkan bentuk yang lebih panjang dari goweser saat menjalani etape 14, Minggu (31 Agustus 2014). Foto diabadikan ketika rombongan baru saja meninggalkan kantor Semen Tonasa di Pangkajene dan Kepulauan. 

Kombinasi yang menarik untuk diabadikan ketika bayangan yang terbentuk dari rombongan pesepeda dengan bentangan alam saat menjalani etape Poso menuju Pendolo.
Iringan pesepeda ketika selepas start etape 3 dari Lolak (Bolaang Mongondow) menuju Boroko (Bolaang Mongondow Utara).

Bayangan yang timbul ketika para penjelajah sepeda menuju Pelabuhan Marisa yang terdapat di Propinsi Gorontalo untuk kemudian diangkut oleh KMP Cengkih Afo menuju Ampana (Sulawesi Tengah).

Sepeda yang tidak digunakan dan terkena paparan sinar matahari juga menarik untuk diabadikan karena bayangan yang dihasilkannya. Rombongan sedang istirahat setelah menjalani awal perjalanan etape 5 dari Kota Gorontalo menuju Marisa.

Bayangan keras hasil dari sinar matahari tengah hari kurang menarik untuk diabadikan karena letaknya tepat di bawah pesepeda ketika memasuki wilayah Tentena (Sulawesi Tengah). 

Rabu, 03 Desember 2014

Veni, Vidi, Vici

Istilah veni vidi vici sangat popular dalam dunia olah raga. Veni vidi vici digunakan sebagai nama klub bola voli dan sepatu roda di Jakarta. Veni vidi vici berarti ‘saya datang, saya lihat, saya menang’. Ungkapan kata tersebut sebagai penggambaran dari peserta atas kemenangan yang diraih ketika ikut bertanding untuk pertama kalinya dan langsung menjadi kampiun. Perjuangan Rudy Hartono saat meraih gelar All England 1968, dengan mengalahkan Tan Aik Huang (Malaysia), merupakan partisipasinya yang pertama pada ajang tersebut dan langsung menjadi juara.

Asal kata veni vidi vici berasal dari bahasa Latin yaitu venire (datang), videre (lihat), dan vincere (menang). Frase ini diucapkan pertama oleh Julius Caesar pada 47 SM. Julius Caesar merupakan salah satu pemimpin tertinggi di Romawi. Saat itu Romawi sedang terjadi perang saudara melawan Pompey dan Pharnances II. Setelah berhasil mengalahkan Pompey dan Pharnances II, Julius Cesar menjadi kaisar Romawi yang diktator sampai akhir hayatnya. Kabar kemenangan yang diraih dalam pertempuran singkat, sekitar 4 jam, melawan Pharnaces II dari Pontus di kota Zela, sekarang terkenal dengan Zile bagian dari Turki disampaikan Julius Caesar kepada senat dengan mengucapkan veni vidi vici. Julius Caesar menganggap bahwa dalam pertempuran tersebut dirinya tidak menggunakan senjata tetapi hanya dengan melihat dan akhirnya meraih kemenangan.

Patung Julius Caesar terbuat dari perunggu yang terdapat di Kota Roma, Italia.

Veni vidi vici yang diucapkan oleh Julius Caesar mengalami perbedaan arti di bidang olah raga. Kata vidi yang berarti saya lihat memiliki arti yang berbeda. Di olah raga untuk meraih kemenangan tidak dengan melihat, seperti Julius Caesar saat memenangi pertempuran, tetapi dengan melakukan pertandingan. Maka arti kata veni vidi vici dalam olah raga mengalamai perubahan arti, artinya menjadi saya lihat, saya bertanding, saya menang. 

Penggunaan kata veni vidi vici bukan hanya pada bidang olah raga saja tetapi digunakan juga pada bidang-bidang yang lainnya, seperti seni pertunjukan, musik, hiburan, dan literatur. Dalam bidang seni pertunjukan digunakan sebagai pembuka dari opera Julius Caesar in Egypt karya George Frideric Handel. Pada tahun 1940-an, lagu yang berjudul “These Foolish Things (Remind Me of You) terdapat syair “You came, you saw, you conquered”. Penyanyi Jay-Z pun dalam lagu “Encore” memuat syair yang berisikan “I came, I saw, I conquered”. Bahkan band setenar Blink-182, juga memakai kata-kata yang diucapkan Julius Caesar, dalam lagu “Adam’s Song” terdapat syair I never conquered, rarely came”.

(Naskah untuk rubrik Assist di Tabloid BOLA yang belum naik cetak)

Selasa, 02 Desember 2014

Mari Elka Pangestu: Pecahkan Rekor Pribadi


Mari Elka Pangestu turut serta pada etape 14 JSMM, Pangkep-Makassar.
Bersepeda memang bisa dilakukan oleh siapa pun. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu (57) membuktikan hal tersebut. Bahkan, dia bisa memecahkan rekor pribadinya.
Mari menemani para peserta gelaran Kompas Jelajah Sepeda Manado-Makassar ketika memasuki etape terakhir, Minggu (31/8). Jelajah Sepeda yang bertujuan untuk merajut Nusantara dari Sabang sampai Merauke dengan bersepeda. Kegiatan kali ini sudah memasuki tahun keenam sebelumnya jelajah sepeda Anyer-Panarukan (2008), Surabaya-Jakarta (2010), Jakarta-Palembang (2011), Bali-Komodo (2012), dan Sabang-Padang (2013). Kegiatan gowes kali ini mengambil start di kawasan Boulevard Kota Manado, Sulawesi Utara, dan mencapai finish di Monumen Mandala Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Penjelajahan ini ditempuh selama 14 hari dengan melewati 4 provinsi.

“Sebelumnya saya paling jauh bersepeda hanya 26 km ketika Minang Bike 2014. Saya ingin memecahkan rekor saya sendiri di ajang ini dan saya bisa,” ujar Mari.
Ya, Mari melahap jalanan sejauh 40 km dari Pangkep ke Makassar. Memang jarak Pangkep-Makassar terbentang 58 km, tapi Mari tak bisa menyelesaikan semuanya karena tekanan darahnya menurun. Alhasil, dia sempat berhenti di kilometer 34 dan sedikit melanjutkan perjalanan. Total dia menjajal 40 km.
“Saya sudah mengenal bersepeda sejak saya bersekolah di Amerika Serikat. Jadi, saya sudah terbiasa,” ungkap lulusan University of Califonia, Davis di Amerika Serikat ini.

Mari Elka Pangestu foto bersama peserta JSMM sesaat setelah memasuki lokasi finish di kawasan Monumen Mandala, Makassar, Sulawesi Selatan.


(Tulisan ini sudah naik cetak di rubrik Galeri Harian BOLA pada edisi Senin, 1 September 2014)

Lepas Kangen Berakhir di Sepiring Toge Goreng

Langit masih gelap suasana masih sunyi ketika bunyi alarm membangunkan saya untuk segera beranjak dari tempat tidur untuk segera menunaikan ibadah sholat Subuh. Saya lebih memilih tidur cepat daripada ikut teman-teman untuk menikmati udara malam di Riung Gunung. Malam sebelumnya saya hanya tidur sekitar 3 jam saja karena harus bangun pagi-pagi untuk gowes bersama Rocil KGC ke Hotel Santika Bogor lokasi titik kumpul acara temu kangen Jelajah Sepeda Manado Makassar sedangkan sampai rumah pukul 00.30 WIB setelah deadline. Setelah menunaikan sholat satu per satu rekan-rekan yang malam itu menginap di villa keluarganya Om Jack mulai beraktivitas kembali. Pak Djati dan Mas Priyo sudah selesai sholat dan sedang menyimak siaran berita di televisi. 

Sarapan pagi dilakukan di beranda yang sejak kedatangan kami selalu dijadikan tempat berkumpul baik untuk makan, bertukar cerita, maupun untuk istirahat sekadar merebahkan badan. Posisi beranda yang menghadap ke timur itu memberikan kehangatan kepada kami saat menikmati sarapan pagi sambil berbincang ketika sinar matahari muncul dari balik pepohonan. Dari beranda juga kita bisa melihat indahnya pemandangan alam dengan bentangan gunung yang menghijau. Tepat pukul 07.30 WIB seperti yang disepakati bersama, kami sudah siap untuk kembali pulang ke rumah masing-masing dan disepakati pula sebelum berpisah di Bogor untuk terlebih dahulu makan toge goreng. Om Jack sangat antusias sekali menawarkan ide itu karena mau merasakan makanan khas Bogor.


Rombongan yang tersisa dari Temu Kangen JSMM di Cisarua. (Dari kiri ke kanan) Om Jack, Mas Priyo, Azwar, Mas Wintolo, Pak Parman, Mas Krus, Daeng Yusri, Mas AH.


Panorama alam diabadikan dari beranda villa di Cisarua.

Sebelum meninggalkan villa, kami rombongan temu kangen JSMM yang tersisa foto bersama di taman beranda, setelah ngecek kondisi sepeda, dan masing-masing melakukan pemanasan. Kemudian kami beriringan keluar dari lokasi villa menuju jalan raya. Begitu keluar dari mulut gang ternyata kendaraan yang mengarah ke Gadog sudah padat merayarap. Kami pun harus mengambil jalan di sisi kanan antrian untuk menghindari kemacetan. Simpul kemacetan tersebut hanya sampai di depan Pasar Cisarua setelah itu laju kendaraan lancar jaya.Iringan kami pun tidak mendapatkan kendala hanya membutuhkan konsentrasi yang tinggi saat menuruni jalan raya puncak. Sesuai kesepakatan bersama saat berangkat, titik kumpul kembali berlokasi di Vimala Hills. Setelah meneguk air minum yang dibawa, perjalanan dilanjutkan. Dipimpin oleh Pak Djati, rekan goweser yang tinggal di Bogor.
Dari titik kumpul kami menyebrangi jalan dengan melewati kendaraan yang sedang mengular antri untuk naik ke arah Puncak. Jalur yang dipilih dengan melalui jalan alternatif yang berada di samping jalan tol. Jalan ini pastinya dilalui oleh pengendara yang malas untuk menghadapi kemacetan yang terjadi bila menuju puncak. Perjalanan kami sempat tersendat karena ada iringan rombongan pengantin nikah yang akan melakukan ijab-qobul. Setelah melewati rombongan itu sampai lah kami di area SPBU yang berada di sisi jalan tol Bogor-Ciawi terus menyusuri jalan hingga ketemu aliran Sungai Ciliwung yang mengarah ke Bendung Katulampa.

Kali ini bendung yang sangat terkenal bagi warga Jakarta ketika musim hujan hanya dilewati saja. Rombongan kami terus melaju menyusuri jalan yang sama ketika berangkat menuju Cisarua. Sesampainya di lokasi tempat penjual toge goreng yang terletak di samping terminal bis Baranangsiang yang bersebarangan dengan Hotel Santika nampak raut wajah sedikit kecewa karena si penjual belum memulai usahanya. Berdasarkan anjuran dari Pak Djati tujuan pun berubah ke lokasi yang lainnya. Perjalanan kami mengarah ke daerah Bogor Permai karena di sana terdapat pula penjual toge goreng yang terkenal dan dijamin enak. Kemudian kami menyusuri Jalan Pajajaran ke arah Warung Jambu setelah melewati RS PMI Bogor lalu kami berbelok ke Jalan Jalak Harupat yang ke arah lapangan Sempur. Pagi itu jalanan cukup ramai dan padat oleh aktivitas warga Bogor untuk menikmati hari bebas kendaraan bermotor hingga di pertigaan jalan pertemuan antara Jalan Jalak Harupat, Jalan Ir. H. Djuanda, dan Jalan Jendral Sudirman. Kami berbelok ke kanan menuju Jalan Jendral Sudirman tak sampai 600 meter dari pertigaan jalan hingga ke lokasi yang kami tuju sudah ada di depan mata. Begitu masuk ke parkiran langsung mencari area untuk menyenderkan sepeda dan langsung memesan toge goreng yang sudah diidam-idamkan sejak semalam.

Bangunan ikon Kota Bogor, Tugu Kujang yang terletak di pertemuan jalan antara Jalan Otto Iskandardinata dengan Jalan Pajajaran.
Lokasi warung toge goreng Ibu Hj. Omah di Bogor Permai. Wajah semringah Om Jack karena berhasil menuntaskan keinginannya untuk mencicipi makanan khas Bogor.

Makanan khas Bogor ini dikenal dengan nama toge goreng. Meskipun terdapat unsur kata goreng pada kenyataannya tidak ada satu bahan pun yang digoreng seperti biasanya, yaitu dengan menggunakan minyak panas. Yang ada hanya bahan utamanya yaitu toge dan mie kuning yang direndam air mendidih dalam  wajan datar yang terbuat dari tembaga. Proses perendaman togenya tidak lama agar tidak sampai layu. Semua bahan, ketupat, toge, potongan tahu rebus, dan mie kuning, disajikan dalam piring yang kemudian disiram dengan tauco. Tauco lah yang membedakan antara toge goreng buatan Ibu Hj. Omah dengan yang lainnya perbedaannya pada warna tauco. Tauconya berwarna kemerahan. 
Tauco adalah bumbu makanan yang terbuat dari biji kedelai. Perubahan dari biji kedelai sampai menjadi tauco karena sudah mengalami tahapan-tahapan yang tidak sebentar. Biji kedelai setelah dicuci dan direbus kemudian dihaluskan. Kedelai yang sudah dihaluskan ditambahkan tepung lalu diaduk hingga rata. Setelah teraduk dengan rata lalu ditaburi ragi tempe dan aduk kembali hingga tercampur rata. Fermentasi tauco dengan cara direndam dengan air garam kemudian dijemur pada terik matahari selama 4 minggu. Selama perendaman itu akan mengeluarkan aroma yang menyengat seperti bau ikan busuk atau aroma terasi atau air rendaman berubah warnanya menjadi coklat kemerahan.

Setelah melahap sepiring toge goreng yang tersaji dengan ditemani segelas air teh hangat terasa sekali nikmatnya. Keinginan yang terucap sejak semalam terlunaskan sudah. Perpisahan pun harus terjadi di lokasi toge goreng Ibu Hj. Omah. Om Jack diantar Mas AH untuk berjumpa dengan istri dan anaknya yang sudah menunggu di Macaroni Panggang serta Rocil KGC yang diantar oleh Pak Djati untuk sampai ke persimpangan Taman Yasmin. Sepiring toge goreng sudah mengakhiri kegiatan gowes bareng di temu kangen JSMM.
Salam gowes kuliner...

Proses penyajian dan seporsi toge goreng Ibu Hj. Omah beserta segelas air teh hangat.


Toge Goreng Ibu Hj. Omah
Bogor Permai
Jl. Jendral Sudirman No.23 A
Bogor

Jumat, 28 November 2014

Indahnya Jingga di Langit Senja Lolak

Salah satu aksi saat menikmati warna langit senja di Lolak.


Titik akhir dari perjalanan etape 2 dari penjelajahan dengan sepeda di Sulawesi yang bertajuk KOMPAS Jelajah Sepeda Manado-Makassar 2014 yaitu di Lolak. Lolak masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Hari itu, Selasa (19 Agustus 2014), etape ini menempuh jarak sejauh 112,2 km. Berangkat dari Hotel Prince di Amurang lalu melakukan seremonial start di Kantor Pemerintahan Kabupaten Minahasa Selatan. Perjalanan pada etape tersebut masih terasa berat selain rute yang dilaluinya sudah melebihi 100 km dan medan rolling ringan sudah mulai dijalani. Selain itu hambatan yang harus dihadapi rombongan adalah embusan angin yang kencang di 20 km menjelang finish. Kondisi angin yang kencang ini sudah disiasati dengan membentuk iringan yang teratur berdasarkan pada masukan dari road captain n marshal.

Rute etape 2 JSMM, Amurang (Minahasa Selatan) - Lolak (Bolaang Mongondow).

Akhirnya perjlanan etape 2 ini sampai di garis finish yang terdapat di markas Batalyon Artiteri Medan 19/105 Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow. Saat memasuki garis finish jam menunjukkan pukul 17.10 WITA. Penyambutan oleh prajurit Yon Armed dengan menampilkan hiburan organ tunggal menjadi penghibur bagi rombongan. Bahkan peserta jelajah didaulat untuk memberikan suara merdunya, goweser yang menyumbahkan suara merdunya adalah Uwa Edi dan Om Chandra. Selagi mendengarkan alunan musik dan suara penyanyi, peserta yang lainnya menikmati minuman dingin yang menyegarkan tenggorokan sehabis melakukan perjalanan jauh. Terdapat sebuah tenda pleton yg didirikan di depan gedung serbaguna dengan kursi-kursi yang tersusun rapi.

Matahari senja perlahan-lahan turun di ufuk barat sebelum masuk ke peraduan. Entah rekan-rekan goweser JSMM sangat terhibur dengan alunan musik atau sibuk dengan koper masing-masing sehingga warna langit yang menjadi jingga luput dari pantauan. Saya pun hampir saja terlewatkan indahnya langit senja di Lolak jika saja tidak mengambil air mineral di mobil logistik. Kebiasaan selalu meminum banyak air ketika mencapai garis finish ternyata memberikan keuntungan yang lain. Dari mobil dobel kabin patwal Polres Bolaang Mongondow saya menikmati perubahan warna langit sore bersama beberapa rekan saja. Rani yang dalam jelajah ini mempunyai tugas selain sebagai peserta juga sebagai peliput langsung mengeluarkan kamera digital-nya untuk mengabadikan indahnya warna langit Lolak. Tak terkecuali anggota tim medis, dokter Dito yang langsung beraksi ketika meilhat Rani mulai mengambil gambar sehingga posenya menjadi gambar siluet yang bagus. Selain kami bertiga, Susi langsung minta bantuan untuk difoto dengan kameranya dan langsung pose bak model bersama sepedanya berlatar belakang warna oranye langit Lolak. Setelah puas menikmati langsung maupun mengabadikan dengan kamera indahnya langit senja Lolak yang mayoritas dipenugi jingga perlahan-lahan sang mentari hilang dari langit sore yang kemudian berganti malam.

Terima kasih Lolak...langit senjamu sudah memberikan kesenangan dan hiburan buat kami para goweser yang bermalam di markas Yon Armed. Pengalaman indah kami selama menjelajah tanah Sulawesi akan selalu teringat.




Langit senja Lolak yang didominasi dengan warna jingga. Beberapa foto yang berhasil terekam oleh kamera rekan-rekan.



Minggu, 23 November 2014

Ketemu Bendung yang Terkenal Ketika Temu Kangen

Pemukiman warga Kampung Melayu Kecil kembali terendam sejak pagi hari akibat luapan air Sungai Ciliwung. Debit Sungai Ciliwung mulai bertambah seiring intensitas hujan yang tinggi di wilayah hulu sungai yang terdapat di Kabupaten Bogor. Berdasarkan laporan petugas pintu air Katulampa...
(Kamis, 20 November 2014, saat melihat acara Seputar Indonesia Siang)

Sabtu pagi sekali sudah bangun dari tempat tidur, kali ini Sabtu yang berbeda dari biasanya. Sesuai kesepakatan bersama rekan-rekan goweser Jelajah Sepeda Manado-Makassar (JSMM) pada Sabtu, 1 November 2014 diadakan temu kangen dengan bentuk kegiatannya yaitu gowes bersama dari Hotel Santika Bogor menuju Cisarua. Tepat pada hari itu kami bertemu kembali setelah 2 bulan berpisah. 

Rombongan Ciledug KGC memilih untuk berangkat bersama dengan gowes bareng menuju Bogor, persertanya adalah saya, Yusri, Wintolo, Pak Parman, Priyo, dan Krus. Setelah meleset lebih 30 menit dari jadwal yang sudah ditentukan barulah rombongan start dari Masjid Imanudin di Pondok Kacang, Tangerang Selatan. Dari start mulai menelusuri jalan lewat Pondok Aren, Jombang, Kedaung, Ciputat, Cinangka, Sawangan, dan Parung. Setelah menempuh perjalanan selama 1 jam dengan kecepatan rata-rata 30 km/jam rombongan beristirahat di alfamart pasar parung. Saat kami beristirahat sudah beberapa rekan-rekan JSMM yang sampai di titik kumpul sedangkan rekan-rekan yang dari Bandung mengabarkan lewat grup jejaring sosial masih berada di tol Jakarta-Cikampek lebih tepatnya di Cikarang.


Rombongan Ciledug (Rocil) KGC sedang istirahat di Parung.


Setelah beristirahat selama 30 menit, pukul 07.00 wib rombongan melanjutkan perjalanan dengan menyusuri jalur Parung-Bogor dengan memilih jalan ke arah persimpangan Warung Jambu Dua lalu ambil kanan tinggal lurus saja melewati Jalan Pajajaran, sempat bertemu dengan Marta, hingga sampai ke lokasi tikum. Perjalanan kali ini ditempuh selama 1 jam hanya saja begitu sampai di Hotel Santika rekan-rekan yang sudah berdatangan sejak pukul 06.30 sudah siap-siap dengan sepeda masing-masing untuk melakukan start sehingga tidak memberikan kesempatan kami, Rocil KGC, untuk beristirahat terlebih dahulu.

Setelah bersalam-salaman dengan rekan-rekan JSMM yang sudah siap untuk memulai perjalanan ke daerah Cisarua tepatnya di villa Om Jack. Tanpa istirahat lagi langsung saja saya mengikuti rombongan yang sudah mulai jalan beriringan. Keluar dari pelataran parkir hotel langsung masuk ke Jalan Pajajaran ke arah Sukasari. Awal perjalanan ini masih terasa sekali rasa kangen yang besar dari semua rekan-rekan sehingga di jalan pun masih terjadi obrolan satu dengan yang lain sehingga kecepatannya sekitar 10-15 km/jam. Di Jalan Pajajaran akan menemukan Balai Binarum di sisi kiri jalan kemudian rombongan belok ke kiri masuk ke arah Jalan Durian Raya. Tak disangka-sangka di jalan itu masih dijumpai tanjakan yang terjal. "Masih kurang ya sama jalanan menanjak selama di Sulawesi?" celetuk seorang rekan JSMM. Om Stefan cuma berkata, "mana sih tanjakan? emang masih ada ya tanjakan? kan tanjakan cuma ada di Sulawesi." Setelah jalan menanjak akan ketemu pertigaan ambil jalan ke kanan melewati Jalan Durian lalu Jalan Raya Parung Benteng hingga ketemu pertigaan berikutnya kembali jalan kanan menuju Jalan Katulampa.


Polygon biru di tepi aliran air yang melewati Bendung Katulampa.

Bendung Katulampa yang terletak di Kelurahan Katulampa, Kota Bogor, Jawa Barat.

Mengabadikan momen begitu sampai di Bendung Katulampa.

Begitu masuk ke Jalan Katulampa rombongan goweser mulai bersisian dengan aliran sungai di sisi kiri. Hari itu debit air nampak sedikit karena nampak tenang aliran airnya. Masih terdapat di tepian aliran sungai terdapat aktivitas warga. Setelah menyusuri jalan sejauh 1,2 km sampailah pada sebuah lokasi yang sangat terkenal bagi masyarakat Bogor dan Jakarta di kala musim hujan. Di depan bangunan yang berbentuk bendungan itulah rombongan JSMM beristirahat sejenak. Dengan berlatar belakang bendungan maka rekan-rekan langsung mengambil kamera poket maupun telepon pintarnya untuk mengabadikan momen tersebut.
Bangunan yang terletak di Kelurahan Katulampa, Kota Bogor tersebut bernama Bendung Katulampa yang memiliki panjang total 74 m. Dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda yang diarsiteki oleh Ir. Van Breen, awal pembuatannya dilakukan pada 16 April 1911 kemudian peresmiannya dilakukan pada 11 Oktober 1912. Dibangunnya Bendung Katulampa tersbut bertujuan sebagai tata kelola air untuk pengendalian banjir agar Batavia terbebas dari banjir dan sarana irigasi lahan pertanian. 
Bendung Katulampa tidak memiliki pintu yang berfungsi untuk mengatur besar-kecilnya debit air, pintu yang dimiliki hanya untuk mencatat ketinggian air. Dari pencatatan itulah bisa diperkirakan berapa lama air yang mengalir tersebut akan sampai di Jakarta. Ketika musim hujan semua media massa baik cetak maupun elektronik pasti akan melaporkan mengenai ketinggian air yang terdapat di Bendung Katulampa.
Setelah beristirahat sekitar 30 menit, rombongan melanjutkan kembali perjalanan dengan mengambil sisi kiri bendungan kemudian menyusuri jalan setapak hingga melewati kolong jalan tol Bogor-Ciawi. Selepas kolong tol mendan yang dihadapi adalah jalan menanjak dan menurun dengan kualitas aspal yang bagus. Jalur yang dilalui berupa pemukiman dan perkebunan warga hingga ke daerah Pasir Angin, Gadok, Bogor. Rombongan menjadi beberapa bagian disebabkan ada kendala pada rantai yang putus pada sepeda Om Tomi dan rear derailleur sepeda Om Greg yang bengkok. Hanya saja kalau om Tomi masih bisa melanjutkan perjalanan beda dengan om Greg yang harus kembali ke Bogor untuk memperbaiki kerusakan. Kali ini lokasi untuk menunggu yang tercecer di  di depan SD Pasir Angin.

Perjalanan dilanjutkan kembali dan jalan menanjak kembali harus dijalani. Berhubung perjalanan ini tidak ditargetkan waktunya maka masing-masing goweser mengatur ritmenya sendiri. Setelah melewati jalan menanjak, kali ini rombongan goweser JSMM mendapatkan bonus pemandangan yang indah yaitu berupa panorama Gunung Salak. Tidak mau menghilangkan momen indah itu langsung saja beberapa rekan langsung mencari titik terbaik untuk mengabadikan momen tersebut.

Panorama Gunung Salak sebagai latar belakang dari jalur pendakian goweser menuju Cisarua.
Setelah regruoping di depan SD Pasir angin, regrouping kembali dilakukan di dua tempat yaitu di sebuah warung yang dekat dengan pembudidayaan jamur merang dan Cimory River View. Selepas beristirahat di Cimory selama 30 menit sambil menunggu semua rekan-rekan JSMM, perjalanan dilanjutkan kembali. Tahapan terakhir perjalanan temu kangen ini ke arah Cisarua, cuaca terik di siang hari memang sangat menyengat. Namun, sengatan matahari tidak membuat kami untuk mengendurkan semangat karena selama di Sulawesi sudah menjadi hal biasa ketika bersepeda di siang hari. Kendaraan yang menuju Cisarua pun tidak ramai hanya di daerah Pasar Cisarua yang terjadi kepadatan yang membuat kemacetan. Pada pukul 12.00 wib sudah ada rekan JSMM yang sampai di lokasi, tepatnya di villa keluarga Om Jack kemudian rombongan berikutnya pun sampai ke lokasi.

Foto bersama goweser JSMM di vila Om Jack sebelum perjalanan kembali ke Bogor.



Rabu, 19 November 2014

"Kegiatan Kamu Nekat Banget..."

Senin, 28 Juli 2014; Hari pertama Idul Fitri 1435 Hijriah. Seperti idul fitri yang sebelumnya rumah nyai, panggilan saya ke nenek dari bapak, selalu ramai. Sudah pasti ramai dengan kedatangan anak-cucu-cicit, selain itu juga kedatangan rombongan keluarga dari adik-adik dan keponakan nyai. Salah seorang keponakan nyai, saya panggil ncing atau bibi, yang sudah 2 tahun terakhir tinggal di Makassar juga datang untuk bersilaturahim yaitu Bi Lilis dan Om Putro. Saat Bibi Lilis mau pulang setelah bersalaman saya ucapkan "sampai bertemu di Makassar pada 31 Agustus". Nampak kaget sekali begitu tau saya mau ke Makassar kemudian Bi Lilis memastikan dengan bertanya "serius nih?".  Saya jawab, "ya serius lah, jadi gak percaya nih?" Langsung dia panggil Om Putro untuk kasih tau niat yang diucapkan. Bi Lilis bertanya kembali "ada acara apa ke Makassar?" Langsung saya jawab, "gowes dari Manado ke Makassar". "Wah edan ini sih," responsnya.

Minggu, 17 Agustus 2014; Tiba di Manado berarti semakin dekat nih rencana untuk berkunjung ke rumah Bi Lilis dan Om Putro di Makassar.

Senin, 18 Agustus 2014; Start kegiatan Jelajah Sepeda Manado-Makassar 2014 di kawasan Boulevard Kota Manado.


Lokasi start di Kota Manado, awal perjalanan menuju Makassar dengan tujuan bertemu dengan sanak famili di sana.

Rabu, 20 Agustus 2014; Hari ketiga penjelajahan sepeda di tanah Sulawesi. Setelah 2 jam sejak start rombongan beristirahat di pantai daerah Bolaang Mongondow. Saya mengabarkan ke Bi Lilis kalau saat itu sudah berada di Bolaang Mongondow dalam 11 hari kedepan rencana untuk berjumpa di Makassar akan terlaksana. Tapi, jawaban kabar via bbm adalah pagi itu Bi Lilis bertolak ke Jakarta karena kondisi nyai, mamanya Bi Lilis, sedang drop sehingga masuk ke icu. Sempat lemas dapat kabar seperti itu dan sempat berpikir alamat gak jadi nih ketemuan di Makassar. Bi Lilis sih bilang kalau dia ke Jakarta sendiri saja, Om Putro n anak-anak ada di Makassar jadi kalau nanti datang saja ke rumah. Sesaat setelah mendapat kabar kalau nyai sedang drop kesehatannya langsung kirim pesan ke Dian untuk tanya sama bapak-ibu tentang keadaan nyai yang sebenarnya.


Lokasi pantai di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.
Pantai di Marina Cottage, Ampana, Sulawesi Tengah.

Selasa, 26 Agustus 2014; Pekan terakhir perjalanan penjelajahan dengan sepeda di Sulawesi. Sore itu di penginapan di Tomoni, Mangkutana, Sulawesi Selatan, kembali saya berkomunikasi via bbm dengan Bibi Lilis untuk mengetahui kabar terakhir kesehatan dari nyai. Dia mengabarkan kalau kondisi nyai sudah membaik dan bisa merespons ketika ada yang menjenguk. Rencananya Bi Lilis mau balik ke Makassar keesokan harinya karena merasa sudah lama meninggalkan Om Putro dan anak-anak di Makassar. Kabar menyenangkan ini membangkitkan kembali rencana untuk berjumpa di Makassar.

Sabtu, 30 Agustus 2014; Hari-hari menjelang finish di Makassar. Etape yang panas ketika menyusuri jalan dari Pinrang menuju Pangkep yang berakhir di Wisma Semen Tonasa yang letaknya hanya berjarak sekitar 50 km dari Makassar. Rencana untuk bertemu dengan Bi Lilis, Om Putro, dan saudara-saudara semakin jelas di depan mata. Tak terasa perjalanan di tanah Sulawesi sudah mencapai hari ke-13. Luarrrr biasa...sudah banyak waktu kebersamaan dengan keluarga yang saya korbankan, peluh yang mengucur deras, hingga semangat yang selalu menjadi pemicu agar tetap kuat dan sehat.

Minggu, 31 Agustus 2014; Hari penjelajahan di Sulawesi yang memasuki hari ke-14. Tak sabar rasanya untuk segera sampai di titik finish yaitu di Monumen Mandala, Makassar. Sayangnya, pada etape terakhir ini rombongan jelajah mendapatkan peserta tambahan yaitu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu sehingga ritme kayuhan menurun drastis. Biasanya untuk jalan datar kecepatan rata-rata bisa mencapai 30 km/jam sedangkan hari itu menjadi 19 km/jam. Kecepatan tersebut berhasil membuat pesepeda turing menjadi terkantuk-kantuk sehingga terkesan menjadi antiklimaks dari penjelajahan ini. 34 km selepas start tim dokter jelajah sepeda memvonis ibu mentri untuk tidak melanjutkan bersepedanya karena tekanan darahnya turun hingga 80/50. Keputusan dokter dilakukan di daerah Sudiang yang merupakan wilayah rumah tinggal Bi Lilis dan Om Putro. Hanya saja batere BB yang saya miliki sudah lemah jadi komunikasi tidak berjalan lancar. Pukul 02.00 wita, rombongan jelajah sepeda finish di Monumen Mandala. Kegembiraan langsung diungkapkan oleh seluruh peserta dengan saling bersalaman dan berpelukan karena sudah melewati 14 hari bersama-sama dari utara hingga selatan Pulau Sulawesi sejauh 1.596 km.


Lokasi finish di Monumen Mandala, Makassar.
Sore menjelang maghrib, pesan masuk lewat bbm yang isinya nyai di Jakarta kembali kritis dan semua anaknya sudah pada kumpul hanya Bi Lilis yang belum datang. Kabar itu membuat suasana hati kembali tidak enak padahal posisi saya sekarang sudah di Makassar ibaratnya sudah di depan mata untuk mewujudkan niat yang terucap sejak akhir Juli. Rencana untuk berjumpa dengan Bi Lilis dan Om Putro kembali mengawang karena tidak mungkin saya meminta mereka untuk menjemput saya di Hotel Santika. Saya sempat balas chat dengan meminta alamat rumahnya biar saya yang mengunjungi dengan menggunakan jasa taksi. Mungkin membaca permintaan itu Bi Lilis dan Om Putro menjadi kasihan karena saya orang yang baru di Makassar takutnya malah gak sampai ke rumahnya. Sesaat kemudian telepon selular saya berdering  ada panggilan masuk yang ternyata Bi Lilis yang menghubungi saya dan mengabarkan bahwa mereka sekeluarga yang akan mendatangi hotel sekalian jalan-jalan tapi tunggu adik-adik selesai mengerjakan tugas.

Pukul 19.30 wita, setelah selesai makan malam di lantai 11 saya langsung turun ke lobby untuk menunggu kedatangan Bi Lilis sekeluarga. Sempat lama juga menunggu kedatangannya sehingga saya berkesempatan ngobrol-ngobrol dengan rekan mototorist. Motorist adalah rekan-rekan biker yang membantu dalam memperlancara perjalanan rombongan jelajah sepeda mulai dari start hingga finish. Oleh karena itu, rekan-rekan motorist juga menjadi dekat dengan seluruh pesepeda. Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu tiba juga. Mata saya langsung tertuju ke pintu lobby hotel begitu ada keluarga dengan 2 anak mulai masuk, ahhhh ini dia yang saya tunggu. Setelah bersalaman dengan Bi Lilis dan berpelukan tanpa terasa air mata ini keluar dengan sendirinya. Rasanya seperti sudah ketemu dengan keluarga meskipun masih di Makassar. Sambil berpelukan sama-sama menceritakan keadaaan yang terjadi pada sore hari dan saya tak lupa untuk meminta maaf karena harus dikunjungi. Setelah itu bersalaman dengan Om Putro, Bang Irsyad, dan Kaka Sakha. Sayangnya Kaka Ita gak ikut karena sudah harus kembali ke asrama sekolah.


Bertemu dan melepas kangen dengan Bibi Lilis dan Abang Irsyad di lobby Hotel Santika Makassar.

Di kursi lobby lah kami melepas kangen dan bersenda gurau. Keadaan kami saat itu hanya bisa menerima kabar dari Jakarta mengenai kondisi nyai. Kembali Bi Lilis menanyakan kenapa saya harus gowes sepeda dari Manado sampai Makassar, berapa hari yang dilalui, berapa jarak yang ditempuh. Saya menjawab semua keingintahuan Bi Lilis terhadap apa yang sudah saya lakukan selama 14 hari perjalanan. Saya membuktikan janji yang telah terucap bahwa pada akhir Agustus akan berjumpa di Makassar, memang terkesan aneh karena untuk menjumpai Bi Lilis harus naik sepeda, kembali Bi Lilis berucap bahwa apa saja yang lakukan selama 14 hari tersebut merupakan kegiatan yang super nekat sudah menempuh jarak sejauh 1.596 km dengan bersepeda. Mulai dari pantai, bukit yang tak ada habisnya, gunung, dan sungai yang dijumpai selama perjalanan. Saya pun tertawa mendengar pernyataan itu, pokoknya saya sudah bertemu dengan bibi, om, dan adik-adik di Makassar itu menjadi obat rindu saya sama keluarga di rumah. 

Waktu makin bergulir ke malam tetapi Abang Irsyad masih menagih janjinya sama abi n ummi untuk makan malam. Sebenarnya kedatangan mereka adalah untuk menjemput saya mengajak makan malam hanya saja sebelum pertemuan saya sudah makan malam bersama di hotel. Akhirnya, menjelang pukul 21.00 wita, kami keluar hotel untuk menikmati kuliner khas Makassar. Menunya dipilih untuk makan malam itu adalah makan sop sodara dengan isi kikil yang dipilihnya karena saya tidak mau mencoba jadi ya ikut saja dengan pilihan Abang Irsyad.


Menu makan malam bersama, sop sodara.

Malam semakin larut dan keesokan harinya Abang Irsyad dan Kaka Sakha harus tetap bersekolah sehingga acara makan malam bersama harus diakhiri. Setelah makan malam tidak ada tujuan lagi selain mengantar saya kembali ke hotel. Selama perjalanan kembali hingga sampai di hotel saya diberikan wejangan oleh Bi Lilis. Isi wejangannya, "Kamu tidak usah macam-macam ya sama Dian", celetuk saya emang ada berapa macam ya? Bi Lilis melanjutkan wejangannya, "karena Dian sudah bisa menjadi mantu dan istri yang baik. Dian sudah memberikan ijin kepada saya untuk menjelajah Sulawesi selama 14 hari dengan konsekuensi yang harus diterimanya". Tak terasa perpisahan harus terjadi di parkiran lobby hotel dan kembali saya memeluk Bi Lilis atas apa yang sudah disuguhkan kepada saya dan saya berjanji akan menjalankan wejangannya dan menceritakan pertemuan ini kepada nyai setibanya saya di Tangerang.

Terima kasih Bi Lilis, Om Putro, Kaka Sakha, dan Abang Irsyad atas kebersamaannya tidak lebih dari 4 jam di Makassar. Semoga lain waktu saya bersama Dian, Aleeya, dan Daneesa bisa berkunjung ke Makassar...

Senin, 1 September 2014; Kembali ke Tangerang, selamat tinggal Makassar...


Selasa, 18 November 2014

Bendung Pasarbaru Irigasi Cisadane

Panorama Bendung Pasarbaru Irigasi Cisadane, Kota Tangerang diambil dari arah jembatan Jalan Jembatan Baru.

Aktivitas yang saya lakukan menjelang siang hari sebelum jadwal berangkat ke kantor adalah gowes. Kegiatan gowes ini lebih sering ke wilayah Tangerang Kota. Salah satu lokasi yang ingin dituju adalah sebuah bendungan di aliran Sungai Cisadane. Beberapa tahun sebelumnya sempat melewati ketika ingin menghadiri undangan resepsi dari rekan sekantor istri. 

Dari rumah mulai menelusuri Jalan Pondok Jagung Timur kemudian masuk ke Jalan Bhayangkara hingga ketemu perumahan Alam Sutera lalu menuju Jalan Raya Serpong. Lanjut dengan menelusuri Jalan Raya Serpong ke arah Kota Tangerang kemudian bertemu dengan Jalan M.H. Thamrin sepanjang Kebon Nanas hingga Cikokol. Setelah melewati kolong flyover lurus ke Jalan Perintis Kemerdekaan hingga ketemu lampu lalu lintas lanjut terus hingga ketemu percabangan kedua yang ada di kanan jalan belok ke arah Jalan Veteran hingga ketemu lampu lalu lintas. Ambil arah kiri ke Jalan Taman Makam Pahlawan Taruna akan melewati rel kereta Tangerang-Duri kemudian Stadion Benteng di kanan jalan hingga ketemu pertigaan di kiri jalan belok kiri ambil jalan yang ada di sisi kanan aliran irigasi. Lanjut ke Jalan Dewi Sartika hingga pertemuan dengan Jalan Daan Mogot lalu ke kanan setelah belok kanan langsung ambil lajur kiri jalan karena akan masuk ke Jalan Pintu Air yang berada di kiri jalan. Masuk hingga ketemu pertigaan ambil kiri ke Jalan dokter Sintanala hingga ketemu bunderan putar balik lalu ambil jalur kiri setelah itu belok kiri ke Jalan Jembatan Baru. Berikutnya akan melewati jembatan yang menyebrangi Sungai Cisadane dari jembatan tersebut sudah nampak pintu air 10 yang berada di sisi kanan. Ketemu lampu lalu lintas belok kanan maka sampailah di Bendung Pasarbaru Irigasi Cisadane.


Bendungan Pasarbaru Irigasi Cisadane yang salah satu pintu airnya dipenuhi oleh sampah.
Bagi warga Tangerang terutama wilayah kota, bendungan ini lebih dikenal dengan nama pintu air 10. Penyebutan pintu air 10 lebih mudah diingat dari pada nama resminya karena jumlah pintu air yang terdapat di bendungan tersebut berjumlah 10 pintu dan masing-masing pintu memiliki lebar 10 meter dan rentang panjang sejauh 110 meter. Nama resmi bendungan tersebut adalah Bendung Pasarbaru Irigasi Cisadane.

Bangunan ini  yang masuk dalam salah satu cagar budaya di Kota Tangerang yang dibangun oleh pemerintahan Kolonial Belanda pada 1927 dan mulai beroperasi tahun 1932 dengan tujuan untuk mengatur aliran Sungai Cisadane agar kawasan Tangerang menjadi kawasan pertanian yang subur. Bendungan ini berfungsi sangat besar bagi kehidupan masyarakat Tangerang selain sebagai pengatur air irigasi juga sumber air baku untuk pengolahan air minum daerah di kawasan Tangerang.


Petugas pintu air sedang mengatur debit air irigasi ke arah Bayur ini bekerja sejak tahun 1970-an.
Bekal makan siang petugas pintu air.
Saluran irigasi yang berasal dari Bendung pintu air 10 yang mengarah ke Bayur.
Pintu-pintu air yang terbuat dari besi membutuhkan mesin untuk menggerakkan naik-turunnya pintu. Mesin yang digunakan sebanyak 5 buah dengan merek HEMAAF buatan Belanda. Usia mesin sama dengan usia bendung tersebut masih terawat dengan baik, masing-masing mesin tersebut berkapasitas 6.000 watt.

Bendung Pasarbaru Irigasi Cisadane
Jalan Raya Sangego RT 5 RW 3, Desa Koang Jaya, Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang, Banten.

Sabtu, 15 November 2014

Generasi Penerus Silaturahim

Setelah perjumpaan di Buperta Cibubur, 27 Oktober 2013, dalam acara syukuran n merajut kembali silaturahim atas tanggal dikukuhkannya kami sebanyak 23 personil dalam keluarga Mahitala Panagan URaL 28 yang memasuki usia ke-18 tahun hingga memasuki bulan keenam belum ada perjumpaan lagi.

Ajang hari bebas berkendaraan di Sudirman-Thamrin dijadikan ajang kumpul kembali, kami datang bersama keluarga masing-masing untuk saling berkenalan dengan yg lainnya. Tak banyak yang bisa datang hanya saya, medyna, hadi, dan latifah. Titik kumpul yang disepakati yaitu di Sarinah pukul 07.00. Saat masih caang sudah pasti tidak akan datang telat karena langsung dikasih sarapan sampe kenyang. Jarum panjang jam menunjukkan 15 menit lewat dari jadwal yg disepakati, menyisakan Ipeh panggilan sayang kami kepada Latifah yg belum muncul juga.

Tikum di McD Sarinah, inilah yang bisa datang.
Sesi foto keluarga di Tugu Selamat Datang sambil menunggu kehadiran Ipeh. Masih saja telat yaa...


Pertemuan Itulah menjadi hari perkenalan putri pertama saya, Aleeya dengan Ayla, putri pertama Medyna termasuk juga dengan Farras anaknya Hadi sang komandan. Awalnya mereka malu-malu untuk berinteraksi dan perlu dorongan semangat dari kami. Tanpa disadari mereka sudah bisa saling berinteraksi dan selalu bertiga dari setiap aktivitas yang dilakukannya. Bahkan Ayla yang keesokan harinya akan pergi ke Dufan dengan pede-nya Aleeya memohon kepada saya n Bunda Dian untuk memberikan ijin untuk bisa bergabung dengan Ayla. Tidak nampak kalau mereka baru beberapa jam kenalan.

Pertemuan berikutnya yang sudah ditentukan adalah di camping ground Batu Tapak, Cidahu, Sukabumi. Lokasi tersebut dipilih karena memiliki sejarah bagi angkatan kami, Mahitala Panagan (MP). Di camping ground itulah 18 tahun yang lalu kami dilantik dalam satu keluarga MP. Kegiatan di Batu Tapak tersebut dibuat perkemahan keluarga bukan hanya pasangan dan anak-anak yang ikut bahkan Rima mengajak mama, adik, n sepupunya. Memang tak banyak yang memiliki keluangan waktu hanya saya, Medyna, Latifah, Rima, Nyoto, Rini, dan Ferdi yang bisa hadir. Sesampainya saya beserta keluarga dan ipeh di lokasi tenda base camp, saat itu pula keakraban Aleeya dan Ayla semakin bertambah sepertinya mereka berdua sudah punya susunan acara sendiri. Kegiatan mereka berdua diisi dengan berenang, berenang, makan, sholat, dan berenang. Pokoknya selama kegiatan tersebut mereka selalu berdua bahkan sampai tidur pun mereka tak mau berpisah tenda.

Senangnya melihat Aleeya dengan Ayla yg sudah seperti sahabat karib lama karena pada kalian lah silaturahim yang sudah saya jalani dengan Medyna bisa berlanjut hingga keturunan kami yang berikutnya. Teringat kembali saat saya dan Medy ketika masih caang dijadikan satu kelompok saat ikut kegiatan Latsarmil. Semua caang yang sudah dibagi kelompok harus mendatangi pos satu per satu sejak malam hingga menjelang Subuh. Banyak cerita yang saya dapati ketika bersama Medy melewati pos-pos yg ditentukan.

Aleeya...Ayla...kalian lah penerus silaturahim kami...

Sejak kedatangan di lokasi base camp, mereka langsung berenang bersama.
Makan siang bersama setelah hampir satu jam berenang.
Sarapan pun mereka lakukan bersama-sama.

Rabu, 12 November 2014

Hari Ke-27 di Bulan Oktober Tahun 1995

Sejak Kamis malam, merupakan hari keempat pendidikan dasar, kami ber-23 tidak merasakan yang namanya tidur bahkan kantur saja sudah tidak terpikirkan dalam benak kami. Hari berganti, Jumat dini hari menjelang subuh saat yang dinanti-nantikan. Pengumuman yang disampaikan oleh Komandan Gana Ciherang menyebutkan bahwa kami semua dinyatakan lulus sebagai satu angkatan terbaru dari URaL 28. Tak sia-sia perjuangan kami selama empat hari di kaki Gunung Salak tepatnya di bumi perkemahan Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat. Tepat pada pagi hari menjelang adzan Subuh di aliran Sungai Ciherang kami berbaris dengan 3 shaf untuk melakukan proses pelantikan. 

Pelantikannya dengan cara penyematan slayer berwarna hijau dan kuning oleh semua anggota URaL 28 yang saat itu hadir mulai dari staf kerja, dewan penasihat, dan alumni serta tak terkecuali pembina. Slayer tersebut selain sebagai penanda bahwa kami sudah menjadi bagian dari URaL 28 juga merupakan kebanggaan atas segala perjuangan yang sudah kami lalui bersama-sama selama hampir empat bulan. Bukan hanya slayer yang berwana hijau dan kuning yang dipasangkan pada leher kami tapi juga nama angkatan yang tertera pada slayer tersebut. Dengan menahan dinginnya air Sungai Ciherang, nama angkatan kami adalah Mahitala Panagan. Sejak saat itu, Jumat 27 Oktober 1995, sah kami menjadi  angkatan ke-15 dari URaL 28.


"Dalam bahasa Sansekerta, Mahitala yang berarti bumi, tanah." 


Sedangkan Panagan adalah nama wilayah tempat kami dilantik. Jadi arti nama angkatan kami adalah Bumi Panagan. Harapannya adalah semoga kami ber-23 ini dapat selalu membumi baik dalam berkata dan berperilaku.

19 dari 23 anggota Mahitala Panagan saat serah terima jabatan.
Kami yang tergabung dalam Mahitala Panagan adalah Hadi Suryono, Ilham Salahuddin, Medyna Roesli, Fitri Sariputri Aswari, Dian Kalista, Latifah Aini, Herbayu, Kushidayati Septarini, Budi Setio Hutomo, Rima Kuraisina, Nyoto Nurhadi, Andi Sulistiono, Nugraha Windu Sena, Joel Faroek Sofjan, Githa Astrdia, Azwar Muhlis, Mardiana, Bernanta Danardana, Ferry Sinaga, Nardipta Pratama, Diah Puspitasari, Ferdy Nurhadi, dan Dwi Dessy.

Harapannya adalah kami yang sudah menjadi satu keluarga ini akan terus menjalin silaturahim selamanya.

Salam Rimba...

Perkemahan keluarga Mahitala Panagan setelah 18 tahun bersama-sama.