Jumat, 28 November 2014

Indahnya Jingga di Langit Senja Lolak

Salah satu aksi saat menikmati warna langit senja di Lolak.


Titik akhir dari perjalanan etape 2 dari penjelajahan dengan sepeda di Sulawesi yang bertajuk KOMPAS Jelajah Sepeda Manado-Makassar 2014 yaitu di Lolak. Lolak masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Hari itu, Selasa (19 Agustus 2014), etape ini menempuh jarak sejauh 112,2 km. Berangkat dari Hotel Prince di Amurang lalu melakukan seremonial start di Kantor Pemerintahan Kabupaten Minahasa Selatan. Perjalanan pada etape tersebut masih terasa berat selain rute yang dilaluinya sudah melebihi 100 km dan medan rolling ringan sudah mulai dijalani. Selain itu hambatan yang harus dihadapi rombongan adalah embusan angin yang kencang di 20 km menjelang finish. Kondisi angin yang kencang ini sudah disiasati dengan membentuk iringan yang teratur berdasarkan pada masukan dari road captain n marshal.

Rute etape 2 JSMM, Amurang (Minahasa Selatan) - Lolak (Bolaang Mongondow).

Akhirnya perjlanan etape 2 ini sampai di garis finish yang terdapat di markas Batalyon Artiteri Medan 19/105 Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow. Saat memasuki garis finish jam menunjukkan pukul 17.10 WITA. Penyambutan oleh prajurit Yon Armed dengan menampilkan hiburan organ tunggal menjadi penghibur bagi rombongan. Bahkan peserta jelajah didaulat untuk memberikan suara merdunya, goweser yang menyumbahkan suara merdunya adalah Uwa Edi dan Om Chandra. Selagi mendengarkan alunan musik dan suara penyanyi, peserta yang lainnya menikmati minuman dingin yang menyegarkan tenggorokan sehabis melakukan perjalanan jauh. Terdapat sebuah tenda pleton yg didirikan di depan gedung serbaguna dengan kursi-kursi yang tersusun rapi.

Matahari senja perlahan-lahan turun di ufuk barat sebelum masuk ke peraduan. Entah rekan-rekan goweser JSMM sangat terhibur dengan alunan musik atau sibuk dengan koper masing-masing sehingga warna langit yang menjadi jingga luput dari pantauan. Saya pun hampir saja terlewatkan indahnya langit senja di Lolak jika saja tidak mengambil air mineral di mobil logistik. Kebiasaan selalu meminum banyak air ketika mencapai garis finish ternyata memberikan keuntungan yang lain. Dari mobil dobel kabin patwal Polres Bolaang Mongondow saya menikmati perubahan warna langit sore bersama beberapa rekan saja. Rani yang dalam jelajah ini mempunyai tugas selain sebagai peserta juga sebagai peliput langsung mengeluarkan kamera digital-nya untuk mengabadikan indahnya warna langit Lolak. Tak terkecuali anggota tim medis, dokter Dito yang langsung beraksi ketika meilhat Rani mulai mengambil gambar sehingga posenya menjadi gambar siluet yang bagus. Selain kami bertiga, Susi langsung minta bantuan untuk difoto dengan kameranya dan langsung pose bak model bersama sepedanya berlatar belakang warna oranye langit Lolak. Setelah puas menikmati langsung maupun mengabadikan dengan kamera indahnya langit senja Lolak yang mayoritas dipenugi jingga perlahan-lahan sang mentari hilang dari langit sore yang kemudian berganti malam.

Terima kasih Lolak...langit senjamu sudah memberikan kesenangan dan hiburan buat kami para goweser yang bermalam di markas Yon Armed. Pengalaman indah kami selama menjelajah tanah Sulawesi akan selalu teringat.




Langit senja Lolak yang didominasi dengan warna jingga. Beberapa foto yang berhasil terekam oleh kamera rekan-rekan.



Minggu, 23 November 2014

Ketemu Bendung yang Terkenal Ketika Temu Kangen

Pemukiman warga Kampung Melayu Kecil kembali terendam sejak pagi hari akibat luapan air Sungai Ciliwung. Debit Sungai Ciliwung mulai bertambah seiring intensitas hujan yang tinggi di wilayah hulu sungai yang terdapat di Kabupaten Bogor. Berdasarkan laporan petugas pintu air Katulampa...
(Kamis, 20 November 2014, saat melihat acara Seputar Indonesia Siang)

Sabtu pagi sekali sudah bangun dari tempat tidur, kali ini Sabtu yang berbeda dari biasanya. Sesuai kesepakatan bersama rekan-rekan goweser Jelajah Sepeda Manado-Makassar (JSMM) pada Sabtu, 1 November 2014 diadakan temu kangen dengan bentuk kegiatannya yaitu gowes bersama dari Hotel Santika Bogor menuju Cisarua. Tepat pada hari itu kami bertemu kembali setelah 2 bulan berpisah. 

Rombongan Ciledug KGC memilih untuk berangkat bersama dengan gowes bareng menuju Bogor, persertanya adalah saya, Yusri, Wintolo, Pak Parman, Priyo, dan Krus. Setelah meleset lebih 30 menit dari jadwal yang sudah ditentukan barulah rombongan start dari Masjid Imanudin di Pondok Kacang, Tangerang Selatan. Dari start mulai menelusuri jalan lewat Pondok Aren, Jombang, Kedaung, Ciputat, Cinangka, Sawangan, dan Parung. Setelah menempuh perjalanan selama 1 jam dengan kecepatan rata-rata 30 km/jam rombongan beristirahat di alfamart pasar parung. Saat kami beristirahat sudah beberapa rekan-rekan JSMM yang sampai di titik kumpul sedangkan rekan-rekan yang dari Bandung mengabarkan lewat grup jejaring sosial masih berada di tol Jakarta-Cikampek lebih tepatnya di Cikarang.


Rombongan Ciledug (Rocil) KGC sedang istirahat di Parung.


Setelah beristirahat selama 30 menit, pukul 07.00 wib rombongan melanjutkan perjalanan dengan menyusuri jalur Parung-Bogor dengan memilih jalan ke arah persimpangan Warung Jambu Dua lalu ambil kanan tinggal lurus saja melewati Jalan Pajajaran, sempat bertemu dengan Marta, hingga sampai ke lokasi tikum. Perjalanan kali ini ditempuh selama 1 jam hanya saja begitu sampai di Hotel Santika rekan-rekan yang sudah berdatangan sejak pukul 06.30 sudah siap-siap dengan sepeda masing-masing untuk melakukan start sehingga tidak memberikan kesempatan kami, Rocil KGC, untuk beristirahat terlebih dahulu.

Setelah bersalam-salaman dengan rekan-rekan JSMM yang sudah siap untuk memulai perjalanan ke daerah Cisarua tepatnya di villa Om Jack. Tanpa istirahat lagi langsung saja saya mengikuti rombongan yang sudah mulai jalan beriringan. Keluar dari pelataran parkir hotel langsung masuk ke Jalan Pajajaran ke arah Sukasari. Awal perjalanan ini masih terasa sekali rasa kangen yang besar dari semua rekan-rekan sehingga di jalan pun masih terjadi obrolan satu dengan yang lain sehingga kecepatannya sekitar 10-15 km/jam. Di Jalan Pajajaran akan menemukan Balai Binarum di sisi kiri jalan kemudian rombongan belok ke kiri masuk ke arah Jalan Durian Raya. Tak disangka-sangka di jalan itu masih dijumpai tanjakan yang terjal. "Masih kurang ya sama jalanan menanjak selama di Sulawesi?" celetuk seorang rekan JSMM. Om Stefan cuma berkata, "mana sih tanjakan? emang masih ada ya tanjakan? kan tanjakan cuma ada di Sulawesi." Setelah jalan menanjak akan ketemu pertigaan ambil jalan ke kanan melewati Jalan Durian lalu Jalan Raya Parung Benteng hingga ketemu pertigaan berikutnya kembali jalan kanan menuju Jalan Katulampa.


Polygon biru di tepi aliran air yang melewati Bendung Katulampa.

Bendung Katulampa yang terletak di Kelurahan Katulampa, Kota Bogor, Jawa Barat.

Mengabadikan momen begitu sampai di Bendung Katulampa.

Begitu masuk ke Jalan Katulampa rombongan goweser mulai bersisian dengan aliran sungai di sisi kiri. Hari itu debit air nampak sedikit karena nampak tenang aliran airnya. Masih terdapat di tepian aliran sungai terdapat aktivitas warga. Setelah menyusuri jalan sejauh 1,2 km sampailah pada sebuah lokasi yang sangat terkenal bagi masyarakat Bogor dan Jakarta di kala musim hujan. Di depan bangunan yang berbentuk bendungan itulah rombongan JSMM beristirahat sejenak. Dengan berlatar belakang bendungan maka rekan-rekan langsung mengambil kamera poket maupun telepon pintarnya untuk mengabadikan momen tersebut.
Bangunan yang terletak di Kelurahan Katulampa, Kota Bogor tersebut bernama Bendung Katulampa yang memiliki panjang total 74 m. Dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda yang diarsiteki oleh Ir. Van Breen, awal pembuatannya dilakukan pada 16 April 1911 kemudian peresmiannya dilakukan pada 11 Oktober 1912. Dibangunnya Bendung Katulampa tersbut bertujuan sebagai tata kelola air untuk pengendalian banjir agar Batavia terbebas dari banjir dan sarana irigasi lahan pertanian. 
Bendung Katulampa tidak memiliki pintu yang berfungsi untuk mengatur besar-kecilnya debit air, pintu yang dimiliki hanya untuk mencatat ketinggian air. Dari pencatatan itulah bisa diperkirakan berapa lama air yang mengalir tersebut akan sampai di Jakarta. Ketika musim hujan semua media massa baik cetak maupun elektronik pasti akan melaporkan mengenai ketinggian air yang terdapat di Bendung Katulampa.
Setelah beristirahat sekitar 30 menit, rombongan melanjutkan kembali perjalanan dengan mengambil sisi kiri bendungan kemudian menyusuri jalan setapak hingga melewati kolong jalan tol Bogor-Ciawi. Selepas kolong tol mendan yang dihadapi adalah jalan menanjak dan menurun dengan kualitas aspal yang bagus. Jalur yang dilalui berupa pemukiman dan perkebunan warga hingga ke daerah Pasir Angin, Gadok, Bogor. Rombongan menjadi beberapa bagian disebabkan ada kendala pada rantai yang putus pada sepeda Om Tomi dan rear derailleur sepeda Om Greg yang bengkok. Hanya saja kalau om Tomi masih bisa melanjutkan perjalanan beda dengan om Greg yang harus kembali ke Bogor untuk memperbaiki kerusakan. Kali ini lokasi untuk menunggu yang tercecer di  di depan SD Pasir Angin.

Perjalanan dilanjutkan kembali dan jalan menanjak kembali harus dijalani. Berhubung perjalanan ini tidak ditargetkan waktunya maka masing-masing goweser mengatur ritmenya sendiri. Setelah melewati jalan menanjak, kali ini rombongan goweser JSMM mendapatkan bonus pemandangan yang indah yaitu berupa panorama Gunung Salak. Tidak mau menghilangkan momen indah itu langsung saja beberapa rekan langsung mencari titik terbaik untuk mengabadikan momen tersebut.

Panorama Gunung Salak sebagai latar belakang dari jalur pendakian goweser menuju Cisarua.
Setelah regruoping di depan SD Pasir angin, regrouping kembali dilakukan di dua tempat yaitu di sebuah warung yang dekat dengan pembudidayaan jamur merang dan Cimory River View. Selepas beristirahat di Cimory selama 30 menit sambil menunggu semua rekan-rekan JSMM, perjalanan dilanjutkan kembali. Tahapan terakhir perjalanan temu kangen ini ke arah Cisarua, cuaca terik di siang hari memang sangat menyengat. Namun, sengatan matahari tidak membuat kami untuk mengendurkan semangat karena selama di Sulawesi sudah menjadi hal biasa ketika bersepeda di siang hari. Kendaraan yang menuju Cisarua pun tidak ramai hanya di daerah Pasar Cisarua yang terjadi kepadatan yang membuat kemacetan. Pada pukul 12.00 wib sudah ada rekan JSMM yang sampai di lokasi, tepatnya di villa keluarga Om Jack kemudian rombongan berikutnya pun sampai ke lokasi.

Foto bersama goweser JSMM di vila Om Jack sebelum perjalanan kembali ke Bogor.



Rabu, 19 November 2014

"Kegiatan Kamu Nekat Banget..."

Senin, 28 Juli 2014; Hari pertama Idul Fitri 1435 Hijriah. Seperti idul fitri yang sebelumnya rumah nyai, panggilan saya ke nenek dari bapak, selalu ramai. Sudah pasti ramai dengan kedatangan anak-cucu-cicit, selain itu juga kedatangan rombongan keluarga dari adik-adik dan keponakan nyai. Salah seorang keponakan nyai, saya panggil ncing atau bibi, yang sudah 2 tahun terakhir tinggal di Makassar juga datang untuk bersilaturahim yaitu Bi Lilis dan Om Putro. Saat Bibi Lilis mau pulang setelah bersalaman saya ucapkan "sampai bertemu di Makassar pada 31 Agustus". Nampak kaget sekali begitu tau saya mau ke Makassar kemudian Bi Lilis memastikan dengan bertanya "serius nih?".  Saya jawab, "ya serius lah, jadi gak percaya nih?" Langsung dia panggil Om Putro untuk kasih tau niat yang diucapkan. Bi Lilis bertanya kembali "ada acara apa ke Makassar?" Langsung saya jawab, "gowes dari Manado ke Makassar". "Wah edan ini sih," responsnya.

Minggu, 17 Agustus 2014; Tiba di Manado berarti semakin dekat nih rencana untuk berkunjung ke rumah Bi Lilis dan Om Putro di Makassar.

Senin, 18 Agustus 2014; Start kegiatan Jelajah Sepeda Manado-Makassar 2014 di kawasan Boulevard Kota Manado.


Lokasi start di Kota Manado, awal perjalanan menuju Makassar dengan tujuan bertemu dengan sanak famili di sana.

Rabu, 20 Agustus 2014; Hari ketiga penjelajahan sepeda di tanah Sulawesi. Setelah 2 jam sejak start rombongan beristirahat di pantai daerah Bolaang Mongondow. Saya mengabarkan ke Bi Lilis kalau saat itu sudah berada di Bolaang Mongondow dalam 11 hari kedepan rencana untuk berjumpa di Makassar akan terlaksana. Tapi, jawaban kabar via bbm adalah pagi itu Bi Lilis bertolak ke Jakarta karena kondisi nyai, mamanya Bi Lilis, sedang drop sehingga masuk ke icu. Sempat lemas dapat kabar seperti itu dan sempat berpikir alamat gak jadi nih ketemuan di Makassar. Bi Lilis sih bilang kalau dia ke Jakarta sendiri saja, Om Putro n anak-anak ada di Makassar jadi kalau nanti datang saja ke rumah. Sesaat setelah mendapat kabar kalau nyai sedang drop kesehatannya langsung kirim pesan ke Dian untuk tanya sama bapak-ibu tentang keadaan nyai yang sebenarnya.


Lokasi pantai di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.
Pantai di Marina Cottage, Ampana, Sulawesi Tengah.

Selasa, 26 Agustus 2014; Pekan terakhir perjalanan penjelajahan dengan sepeda di Sulawesi. Sore itu di penginapan di Tomoni, Mangkutana, Sulawesi Selatan, kembali saya berkomunikasi via bbm dengan Bibi Lilis untuk mengetahui kabar terakhir kesehatan dari nyai. Dia mengabarkan kalau kondisi nyai sudah membaik dan bisa merespons ketika ada yang menjenguk. Rencananya Bi Lilis mau balik ke Makassar keesokan harinya karena merasa sudah lama meninggalkan Om Putro dan anak-anak di Makassar. Kabar menyenangkan ini membangkitkan kembali rencana untuk berjumpa di Makassar.

Sabtu, 30 Agustus 2014; Hari-hari menjelang finish di Makassar. Etape yang panas ketika menyusuri jalan dari Pinrang menuju Pangkep yang berakhir di Wisma Semen Tonasa yang letaknya hanya berjarak sekitar 50 km dari Makassar. Rencana untuk bertemu dengan Bi Lilis, Om Putro, dan saudara-saudara semakin jelas di depan mata. Tak terasa perjalanan di tanah Sulawesi sudah mencapai hari ke-13. Luarrrr biasa...sudah banyak waktu kebersamaan dengan keluarga yang saya korbankan, peluh yang mengucur deras, hingga semangat yang selalu menjadi pemicu agar tetap kuat dan sehat.

Minggu, 31 Agustus 2014; Hari penjelajahan di Sulawesi yang memasuki hari ke-14. Tak sabar rasanya untuk segera sampai di titik finish yaitu di Monumen Mandala, Makassar. Sayangnya, pada etape terakhir ini rombongan jelajah mendapatkan peserta tambahan yaitu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu sehingga ritme kayuhan menurun drastis. Biasanya untuk jalan datar kecepatan rata-rata bisa mencapai 30 km/jam sedangkan hari itu menjadi 19 km/jam. Kecepatan tersebut berhasil membuat pesepeda turing menjadi terkantuk-kantuk sehingga terkesan menjadi antiklimaks dari penjelajahan ini. 34 km selepas start tim dokter jelajah sepeda memvonis ibu mentri untuk tidak melanjutkan bersepedanya karena tekanan darahnya turun hingga 80/50. Keputusan dokter dilakukan di daerah Sudiang yang merupakan wilayah rumah tinggal Bi Lilis dan Om Putro. Hanya saja batere BB yang saya miliki sudah lemah jadi komunikasi tidak berjalan lancar. Pukul 02.00 wita, rombongan jelajah sepeda finish di Monumen Mandala. Kegembiraan langsung diungkapkan oleh seluruh peserta dengan saling bersalaman dan berpelukan karena sudah melewati 14 hari bersama-sama dari utara hingga selatan Pulau Sulawesi sejauh 1.596 km.


Lokasi finish di Monumen Mandala, Makassar.
Sore menjelang maghrib, pesan masuk lewat bbm yang isinya nyai di Jakarta kembali kritis dan semua anaknya sudah pada kumpul hanya Bi Lilis yang belum datang. Kabar itu membuat suasana hati kembali tidak enak padahal posisi saya sekarang sudah di Makassar ibaratnya sudah di depan mata untuk mewujudkan niat yang terucap sejak akhir Juli. Rencana untuk berjumpa dengan Bi Lilis dan Om Putro kembali mengawang karena tidak mungkin saya meminta mereka untuk menjemput saya di Hotel Santika. Saya sempat balas chat dengan meminta alamat rumahnya biar saya yang mengunjungi dengan menggunakan jasa taksi. Mungkin membaca permintaan itu Bi Lilis dan Om Putro menjadi kasihan karena saya orang yang baru di Makassar takutnya malah gak sampai ke rumahnya. Sesaat kemudian telepon selular saya berdering  ada panggilan masuk yang ternyata Bi Lilis yang menghubungi saya dan mengabarkan bahwa mereka sekeluarga yang akan mendatangi hotel sekalian jalan-jalan tapi tunggu adik-adik selesai mengerjakan tugas.

Pukul 19.30 wita, setelah selesai makan malam di lantai 11 saya langsung turun ke lobby untuk menunggu kedatangan Bi Lilis sekeluarga. Sempat lama juga menunggu kedatangannya sehingga saya berkesempatan ngobrol-ngobrol dengan rekan mototorist. Motorist adalah rekan-rekan biker yang membantu dalam memperlancara perjalanan rombongan jelajah sepeda mulai dari start hingga finish. Oleh karena itu, rekan-rekan motorist juga menjadi dekat dengan seluruh pesepeda. Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu tiba juga. Mata saya langsung tertuju ke pintu lobby hotel begitu ada keluarga dengan 2 anak mulai masuk, ahhhh ini dia yang saya tunggu. Setelah bersalaman dengan Bi Lilis dan berpelukan tanpa terasa air mata ini keluar dengan sendirinya. Rasanya seperti sudah ketemu dengan keluarga meskipun masih di Makassar. Sambil berpelukan sama-sama menceritakan keadaaan yang terjadi pada sore hari dan saya tak lupa untuk meminta maaf karena harus dikunjungi. Setelah itu bersalaman dengan Om Putro, Bang Irsyad, dan Kaka Sakha. Sayangnya Kaka Ita gak ikut karena sudah harus kembali ke asrama sekolah.


Bertemu dan melepas kangen dengan Bibi Lilis dan Abang Irsyad di lobby Hotel Santika Makassar.

Di kursi lobby lah kami melepas kangen dan bersenda gurau. Keadaan kami saat itu hanya bisa menerima kabar dari Jakarta mengenai kondisi nyai. Kembali Bi Lilis menanyakan kenapa saya harus gowes sepeda dari Manado sampai Makassar, berapa hari yang dilalui, berapa jarak yang ditempuh. Saya menjawab semua keingintahuan Bi Lilis terhadap apa yang sudah saya lakukan selama 14 hari perjalanan. Saya membuktikan janji yang telah terucap bahwa pada akhir Agustus akan berjumpa di Makassar, memang terkesan aneh karena untuk menjumpai Bi Lilis harus naik sepeda, kembali Bi Lilis berucap bahwa apa saja yang lakukan selama 14 hari tersebut merupakan kegiatan yang super nekat sudah menempuh jarak sejauh 1.596 km dengan bersepeda. Mulai dari pantai, bukit yang tak ada habisnya, gunung, dan sungai yang dijumpai selama perjalanan. Saya pun tertawa mendengar pernyataan itu, pokoknya saya sudah bertemu dengan bibi, om, dan adik-adik di Makassar itu menjadi obat rindu saya sama keluarga di rumah. 

Waktu makin bergulir ke malam tetapi Abang Irsyad masih menagih janjinya sama abi n ummi untuk makan malam. Sebenarnya kedatangan mereka adalah untuk menjemput saya mengajak makan malam hanya saja sebelum pertemuan saya sudah makan malam bersama di hotel. Akhirnya, menjelang pukul 21.00 wita, kami keluar hotel untuk menikmati kuliner khas Makassar. Menunya dipilih untuk makan malam itu adalah makan sop sodara dengan isi kikil yang dipilihnya karena saya tidak mau mencoba jadi ya ikut saja dengan pilihan Abang Irsyad.


Menu makan malam bersama, sop sodara.

Malam semakin larut dan keesokan harinya Abang Irsyad dan Kaka Sakha harus tetap bersekolah sehingga acara makan malam bersama harus diakhiri. Setelah makan malam tidak ada tujuan lagi selain mengantar saya kembali ke hotel. Selama perjalanan kembali hingga sampai di hotel saya diberikan wejangan oleh Bi Lilis. Isi wejangannya, "Kamu tidak usah macam-macam ya sama Dian", celetuk saya emang ada berapa macam ya? Bi Lilis melanjutkan wejangannya, "karena Dian sudah bisa menjadi mantu dan istri yang baik. Dian sudah memberikan ijin kepada saya untuk menjelajah Sulawesi selama 14 hari dengan konsekuensi yang harus diterimanya". Tak terasa perpisahan harus terjadi di parkiran lobby hotel dan kembali saya memeluk Bi Lilis atas apa yang sudah disuguhkan kepada saya dan saya berjanji akan menjalankan wejangannya dan menceritakan pertemuan ini kepada nyai setibanya saya di Tangerang.

Terima kasih Bi Lilis, Om Putro, Kaka Sakha, dan Abang Irsyad atas kebersamaannya tidak lebih dari 4 jam di Makassar. Semoga lain waktu saya bersama Dian, Aleeya, dan Daneesa bisa berkunjung ke Makassar...

Senin, 1 September 2014; Kembali ke Tangerang, selamat tinggal Makassar...


Selasa, 18 November 2014

Bendung Pasarbaru Irigasi Cisadane

Panorama Bendung Pasarbaru Irigasi Cisadane, Kota Tangerang diambil dari arah jembatan Jalan Jembatan Baru.

Aktivitas yang saya lakukan menjelang siang hari sebelum jadwal berangkat ke kantor adalah gowes. Kegiatan gowes ini lebih sering ke wilayah Tangerang Kota. Salah satu lokasi yang ingin dituju adalah sebuah bendungan di aliran Sungai Cisadane. Beberapa tahun sebelumnya sempat melewati ketika ingin menghadiri undangan resepsi dari rekan sekantor istri. 

Dari rumah mulai menelusuri Jalan Pondok Jagung Timur kemudian masuk ke Jalan Bhayangkara hingga ketemu perumahan Alam Sutera lalu menuju Jalan Raya Serpong. Lanjut dengan menelusuri Jalan Raya Serpong ke arah Kota Tangerang kemudian bertemu dengan Jalan M.H. Thamrin sepanjang Kebon Nanas hingga Cikokol. Setelah melewati kolong flyover lurus ke Jalan Perintis Kemerdekaan hingga ketemu lampu lalu lintas lanjut terus hingga ketemu percabangan kedua yang ada di kanan jalan belok ke arah Jalan Veteran hingga ketemu lampu lalu lintas. Ambil arah kiri ke Jalan Taman Makam Pahlawan Taruna akan melewati rel kereta Tangerang-Duri kemudian Stadion Benteng di kanan jalan hingga ketemu pertigaan di kiri jalan belok kiri ambil jalan yang ada di sisi kanan aliran irigasi. Lanjut ke Jalan Dewi Sartika hingga pertemuan dengan Jalan Daan Mogot lalu ke kanan setelah belok kanan langsung ambil lajur kiri jalan karena akan masuk ke Jalan Pintu Air yang berada di kiri jalan. Masuk hingga ketemu pertigaan ambil kiri ke Jalan dokter Sintanala hingga ketemu bunderan putar balik lalu ambil jalur kiri setelah itu belok kiri ke Jalan Jembatan Baru. Berikutnya akan melewati jembatan yang menyebrangi Sungai Cisadane dari jembatan tersebut sudah nampak pintu air 10 yang berada di sisi kanan. Ketemu lampu lalu lintas belok kanan maka sampailah di Bendung Pasarbaru Irigasi Cisadane.


Bendungan Pasarbaru Irigasi Cisadane yang salah satu pintu airnya dipenuhi oleh sampah.
Bagi warga Tangerang terutama wilayah kota, bendungan ini lebih dikenal dengan nama pintu air 10. Penyebutan pintu air 10 lebih mudah diingat dari pada nama resminya karena jumlah pintu air yang terdapat di bendungan tersebut berjumlah 10 pintu dan masing-masing pintu memiliki lebar 10 meter dan rentang panjang sejauh 110 meter. Nama resmi bendungan tersebut adalah Bendung Pasarbaru Irigasi Cisadane.

Bangunan ini  yang masuk dalam salah satu cagar budaya di Kota Tangerang yang dibangun oleh pemerintahan Kolonial Belanda pada 1927 dan mulai beroperasi tahun 1932 dengan tujuan untuk mengatur aliran Sungai Cisadane agar kawasan Tangerang menjadi kawasan pertanian yang subur. Bendungan ini berfungsi sangat besar bagi kehidupan masyarakat Tangerang selain sebagai pengatur air irigasi juga sumber air baku untuk pengolahan air minum daerah di kawasan Tangerang.


Petugas pintu air sedang mengatur debit air irigasi ke arah Bayur ini bekerja sejak tahun 1970-an.
Bekal makan siang petugas pintu air.
Saluran irigasi yang berasal dari Bendung pintu air 10 yang mengarah ke Bayur.
Pintu-pintu air yang terbuat dari besi membutuhkan mesin untuk menggerakkan naik-turunnya pintu. Mesin yang digunakan sebanyak 5 buah dengan merek HEMAAF buatan Belanda. Usia mesin sama dengan usia bendung tersebut masih terawat dengan baik, masing-masing mesin tersebut berkapasitas 6.000 watt.

Bendung Pasarbaru Irigasi Cisadane
Jalan Raya Sangego RT 5 RW 3, Desa Koang Jaya, Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang, Banten.

Sabtu, 15 November 2014

Generasi Penerus Silaturahim

Setelah perjumpaan di Buperta Cibubur, 27 Oktober 2013, dalam acara syukuran n merajut kembali silaturahim atas tanggal dikukuhkannya kami sebanyak 23 personil dalam keluarga Mahitala Panagan URaL 28 yang memasuki usia ke-18 tahun hingga memasuki bulan keenam belum ada perjumpaan lagi.

Ajang hari bebas berkendaraan di Sudirman-Thamrin dijadikan ajang kumpul kembali, kami datang bersama keluarga masing-masing untuk saling berkenalan dengan yg lainnya. Tak banyak yang bisa datang hanya saya, medyna, hadi, dan latifah. Titik kumpul yang disepakati yaitu di Sarinah pukul 07.00. Saat masih caang sudah pasti tidak akan datang telat karena langsung dikasih sarapan sampe kenyang. Jarum panjang jam menunjukkan 15 menit lewat dari jadwal yg disepakati, menyisakan Ipeh panggilan sayang kami kepada Latifah yg belum muncul juga.

Tikum di McD Sarinah, inilah yang bisa datang.
Sesi foto keluarga di Tugu Selamat Datang sambil menunggu kehadiran Ipeh. Masih saja telat yaa...


Pertemuan Itulah menjadi hari perkenalan putri pertama saya, Aleeya dengan Ayla, putri pertama Medyna termasuk juga dengan Farras anaknya Hadi sang komandan. Awalnya mereka malu-malu untuk berinteraksi dan perlu dorongan semangat dari kami. Tanpa disadari mereka sudah bisa saling berinteraksi dan selalu bertiga dari setiap aktivitas yang dilakukannya. Bahkan Ayla yang keesokan harinya akan pergi ke Dufan dengan pede-nya Aleeya memohon kepada saya n Bunda Dian untuk memberikan ijin untuk bisa bergabung dengan Ayla. Tidak nampak kalau mereka baru beberapa jam kenalan.

Pertemuan berikutnya yang sudah ditentukan adalah di camping ground Batu Tapak, Cidahu, Sukabumi. Lokasi tersebut dipilih karena memiliki sejarah bagi angkatan kami, Mahitala Panagan (MP). Di camping ground itulah 18 tahun yang lalu kami dilantik dalam satu keluarga MP. Kegiatan di Batu Tapak tersebut dibuat perkemahan keluarga bukan hanya pasangan dan anak-anak yang ikut bahkan Rima mengajak mama, adik, n sepupunya. Memang tak banyak yang memiliki keluangan waktu hanya saya, Medyna, Latifah, Rima, Nyoto, Rini, dan Ferdi yang bisa hadir. Sesampainya saya beserta keluarga dan ipeh di lokasi tenda base camp, saat itu pula keakraban Aleeya dan Ayla semakin bertambah sepertinya mereka berdua sudah punya susunan acara sendiri. Kegiatan mereka berdua diisi dengan berenang, berenang, makan, sholat, dan berenang. Pokoknya selama kegiatan tersebut mereka selalu berdua bahkan sampai tidur pun mereka tak mau berpisah tenda.

Senangnya melihat Aleeya dengan Ayla yg sudah seperti sahabat karib lama karena pada kalian lah silaturahim yang sudah saya jalani dengan Medyna bisa berlanjut hingga keturunan kami yang berikutnya. Teringat kembali saat saya dan Medy ketika masih caang dijadikan satu kelompok saat ikut kegiatan Latsarmil. Semua caang yang sudah dibagi kelompok harus mendatangi pos satu per satu sejak malam hingga menjelang Subuh. Banyak cerita yang saya dapati ketika bersama Medy melewati pos-pos yg ditentukan.

Aleeya...Ayla...kalian lah penerus silaturahim kami...

Sejak kedatangan di lokasi base camp, mereka langsung berenang bersama.
Makan siang bersama setelah hampir satu jam berenang.
Sarapan pun mereka lakukan bersama-sama.

Rabu, 12 November 2014

Hari Ke-27 di Bulan Oktober Tahun 1995

Sejak Kamis malam, merupakan hari keempat pendidikan dasar, kami ber-23 tidak merasakan yang namanya tidur bahkan kantur saja sudah tidak terpikirkan dalam benak kami. Hari berganti, Jumat dini hari menjelang subuh saat yang dinanti-nantikan. Pengumuman yang disampaikan oleh Komandan Gana Ciherang menyebutkan bahwa kami semua dinyatakan lulus sebagai satu angkatan terbaru dari URaL 28. Tak sia-sia perjuangan kami selama empat hari di kaki Gunung Salak tepatnya di bumi perkemahan Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat. Tepat pada pagi hari menjelang adzan Subuh di aliran Sungai Ciherang kami berbaris dengan 3 shaf untuk melakukan proses pelantikan. 

Pelantikannya dengan cara penyematan slayer berwarna hijau dan kuning oleh semua anggota URaL 28 yang saat itu hadir mulai dari staf kerja, dewan penasihat, dan alumni serta tak terkecuali pembina. Slayer tersebut selain sebagai penanda bahwa kami sudah menjadi bagian dari URaL 28 juga merupakan kebanggaan atas segala perjuangan yang sudah kami lalui bersama-sama selama hampir empat bulan. Bukan hanya slayer yang berwana hijau dan kuning yang dipasangkan pada leher kami tapi juga nama angkatan yang tertera pada slayer tersebut. Dengan menahan dinginnya air Sungai Ciherang, nama angkatan kami adalah Mahitala Panagan. Sejak saat itu, Jumat 27 Oktober 1995, sah kami menjadi  angkatan ke-15 dari URaL 28.


"Dalam bahasa Sansekerta, Mahitala yang berarti bumi, tanah." 


Sedangkan Panagan adalah nama wilayah tempat kami dilantik. Jadi arti nama angkatan kami adalah Bumi Panagan. Harapannya adalah semoga kami ber-23 ini dapat selalu membumi baik dalam berkata dan berperilaku.

19 dari 23 anggota Mahitala Panagan saat serah terima jabatan.
Kami yang tergabung dalam Mahitala Panagan adalah Hadi Suryono, Ilham Salahuddin, Medyna Roesli, Fitri Sariputri Aswari, Dian Kalista, Latifah Aini, Herbayu, Kushidayati Septarini, Budi Setio Hutomo, Rima Kuraisina, Nyoto Nurhadi, Andi Sulistiono, Nugraha Windu Sena, Joel Faroek Sofjan, Githa Astrdia, Azwar Muhlis, Mardiana, Bernanta Danardana, Ferry Sinaga, Nardipta Pratama, Diah Puspitasari, Ferdy Nurhadi, dan Dwi Dessy.

Harapannya adalah kami yang sudah menjadi satu keluarga ini akan terus menjalin silaturahim selamanya.

Salam Rimba...

Perkemahan keluarga Mahitala Panagan setelah 18 tahun bersama-sama.



Minggu, 09 November 2014

Gowes (Ber)Sejarah di Sulawesi

Danau Linow yang terletak di Tomohon Sulawesi Utara memiliki keunikan yaitu warna airnya dapat berubah-ubah.
Pengalaman yang berharga saat menjadi bagian dari  kegiatan jelajah sepeda edisi 2014 yang diselenggarakan oleh KOMPAS. Edisi kali keenam ini mengambil titik start di Manado dan finish di Makassar. Kegiatan ini bernama 
KOMPAS Jelajah Sepeda Manado-Makassar 2014. Penjelajahan dengan sepeda di tanah Sulawesi ini berlangsung pada pertengahan hingga akhir Agustus 2014 dengan menjalani 14 etape melewati 23 kabupaten/kota di 4 propinsi di tanah Sulawesi. Bagi saya pribadi ikut menjadi bagian dari kegiatan ini selain merupakan pengalaman yang berharga juga menjadi catatan bersejarah dalam perjalanan hidup saya ini. Bersejarah karena ini kali pertama saya menginjakan kaki di Pulau Sulawesi dan melakukan gowes yang dilakukan selama 2 minggu di perjalanan.

Sejak start di kawasan Boulevard Kota Manado hingga menyentuh finish di Monumen Mandala Kota Makassar tidak ada hentinya suguhan keindahan Pulau Sulawesi yang dinikmati oleh seluruh peserta termasuk saya salah satu diantaranya. Menikmati keindahan alam sulawesi merupakan anugerah yang sangat luar biasa karena bisa merasakan betapa indahnya ciptaan Allah Sang Maha Penguasa Alam. Semua ciptaan Sang Khalik dapat dinikmati ulai dari keindahan pantai, penggungan bukit, gunung, sungai, hutan, hingga keindahan seni dan budaya masyarakat Toraja. Untuk menggapai itu semua adalah dengan menelusuri jalan trans-Sulawesi. Trans-Sulawesi tidak melulu jalan yang datar tetapi mayoritas dengan jalan menanjak dan sudah pasti ada jalan menurun. Jalan beraspal dan beton harus dilalui karena untuk merasakan dan menikmati keindahan Sulawesi harus ada usaha yang harus dilakukan dengan didukung oleh kekuatan niat yang kuat. Meskipun tidak semua jalab beraspal di trans-Sulawesi bagus dan mulus karena masih ada di beberapa titik yang rusak atau dalam tahap perbaikan. Bukan hanya keindahan alam dan kontur jalan yang dapat dinikmati tetapi ada ekstra bonus yang didapati ketika ikut menjadi bagian dari rombongan pesepeda yang menelusuri trans-Sulawesi selama 14 hari. Ekstra Bonus tersebut adalah dapat mengunjungi lokasi yang memeiliki nilai sejarah yang terdapat di Sulawesi mulai dari utara hingga selatan. Dikatakan sebagai ektra bonus karena sebelum keberangkatan menjelajahi Pulau Sulawesi sedang antusias gowes mengunjungi lokasi bersejarah di wilayah Tangerang dan sekitarnya.

Tepat Senin pagi (18/8) etape pertama Manado-Amurang pada penjelajahan di Sulawesi dimulai. Selepas start di kawasan Mega Mas Kota Manado medan menanjak langsung dijalani pesepeda bisa disebut sebagai sarapan di awal penjelajahan. Di jalur menanjak yang landai dan berkelok disertai dengan rindangnya pepohonan di tepi jalan menuju Kota Tomohon tersebut terdapat lokasi yang patut untuk disinggahi. Pada jarak 9 km sejak start tepatnya ketika memasuki wilayah Lotak, Peneleng, Minahasa, di daerah tersebut terkubur jasad pahlawan nasional asal Sumatera Barat. Di situ lah letak makam pahlawan nasional Tuanku Imam Bonjol. Pahlawan nasional yang berasal dari Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat itu meninggal dalam pengasingan setelah berhasil ditangkap Kolonial Belanda. Mungkin tidak banyak rekan-rekan lainnya yang melihat papan petunjuk lokasi tersebut karena sedang semangatnya untuk menelusuri jalan menanjak untuk sampai ke di kantor Pertamina Geothermal Energy Area Lahendong, Tomohon. Tidak berhasilnya untuk singgah di makam Tuanku Imam Bonjol menimbulkan perasaan menyesal karena melewatkan begitu saja kesempatan untuk singgah di tempat bersejarah di tanah Sulawesi. Mungkin karena ini tidak dijadwalkan makanya tidak disinggahi. Dalam hati meyakinkan bahwa akan ada lagi lokasi-lokasi bersejarah yang lainnya. Lokasi bersejarah pertama sudah terlewati pasti akan ada lokasi berikutnya yang tak kalah bersejarahnya. Sejak itu saya meyakini bahwa jelajah ini menjadi gowes sejarah karena akan melalui lokasi-lokasi yang mempunyai nilai sejarah.
Lokasi start di kawasan Boulevard Kota Manado dengan latar belakang  Gunung Manado Tua.

Kesempatan pertama untuk melihat lokasi yang bernilai sejarah ketika rombongan jelajah sepeda singgah di kantor Hukum Tua Ongkaw Dua, Kecamatan Sinon Sayang, Kabupaten Minahasa Selatan. Ongkaw Dua berjarak 36 km dari kantor Kabupaten Minahasa Selatan. perjalanan ini merupakan hari kedua penjelajahan di Sulawesi untuk menempuh etape Amurang ke Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow. Dari jalan trans-Sulawesi rombongan di belokan ke kanan masuk ke permukiman dengan tujuan adalah kantor hukum tua. Ketika rombongan pesepeda mendekati kantor hukum tua karena penyambutan warga yang meriah maka posisi monumen tertutup dengan barisan warga yang berdiri menyambut. Baru saya ketahui bahwa terdapat sebuah monumen ketika mulai melihat situasi sekitar kantor hukum tua. Monumen tersebut berupa patung seorang prajurit TNI dengan berseragam lengkap dan memegang senapan di tangan kiri. Tepatnya letak monumen tersebut  di sisi kanan kantor hukum tua dengan jalan sebagai pemisah. Di tugu tersebut tertulis "Monumen Pahlawan Letkol A.G. Lembong Gugur 23 Januari 1950 di Bandung Korban APRA Jawa Barat." Kenapa monumen tersebut didirikan di Onkaw Dua karena ternyata A.G. Lembong adalah putra dari Ongkaw Dua. Oleh karena itu, monumen ini berada di sana untuk memperingati perjuangannya selama menjadi prajurit Siliwangi. Senang rasanya ketika bisa melihat sebuah monumen peringatan setelah sehari sebelumnya gagal. Selain itu juga bangga atas didirikannya monumen tersebut karena dibangun untuk memberikan penghargaan atas perjuangan putra terbaik Ongkaw Dua pada masa kemerdekaan.
Monumen mengenang perjuangan Letkol A.G. Lembong di Desa Ongkaw Dua, Sinon Sayang, Minahasa Selatan

Senang rasanya dapat singgah di lokasi bersejarah berikutnya dalam penjelajahan bersepeda ini. Memasuki hari keempat dengan mengambil start di alun-alun Kota Boroko, Bolaang Mongondow Utara dengan tujuan akhir Kota Gorontalo. Ternyata lokasi start berhadapan langsung dengan bangunan yang unik dan beda dengan bangunan lainnya. Bahkan setelah sampai di alun-alun dalam perjalanan dari hotel menuju titik start, pesepeda menyempatkan untuk singgah mengabadikan diri bersama sepedanya untuk berfoto ria di pagar depan bangunan itu. Nama bangunan tersebut dengan mudah diketahui dari papan namanya yang  tertulis Lokasi Situs Komalig R.S Pontoh Kaidipang Besar Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Sulawesi Utara  Selain letaknya yang berhadapan dengan alun-alun Kota Boroko juga terdapat di jalur trans-Sulawesi yang menghubungkan Kota Manado dengan Kota Gorontalo sehingga keberadaannya sangat mudah untuk dijumpai dan dijangkau dengan perjalanan darat. Hanya sayangnya papan petunjuk menuju lokasi belum ada yang ada hanya nama pengenal di lokasi. Objek wisata ini berupa istana Kerajaan Kaidipang Besar dengan bagian depannya terdapat taman istana yang ditumbuhi pohon dan rerumputan. Istana ini dibangun oleh Ram Suit Pontoh, Raja Kaidipang Besar. Kunikan dari bangunan istana ini terbuat dari kayu dengan ornamen khas. Kegiatan yang masih dilakukan adalah acara penyambutan tamu dengan Tari Giomu dan pemainan kolintang jika ada acara kerajaan berupa pernikahan maupun kematian keluarga kerajaan.
Situs Komalig RS Pontoh Kaidipang Besar di Bolaang Mongondow Utara

Kesempatan untuk menambah pengalaman mengunjungi lokasi bersejarah bertambah lagi. Memasuki hari kelima dalam menjelajah tanah Sulawesi saat menjalani etape Kota Gorontalo menuju Marisa (Pohuwatu) iringan pesepeda menghentikan kayuhannya setelah berjalan sejauh 15 km tepatnya berada di tepian sisi selatan Danau Limboto. Lokasi itu masuk ke dalam wilayah Desa Iluta, Kecamatan Batudaa, Kabupaten Gorontalo. Awalnya sempat bergumam kenapa berhenti ketika kayuhan kaki semua pesepeda sudah menemukan ritme yang sama. Barulah diketahui setelah membaca papan nama yang bertuliskan Museum  Pendaratan Ampibi Soekarno. Dari petugas yang menjaga museum didapat informasi bangunan dengan ukuran 15x15 m yang terletak di tepian danau ini dibangun pada masa pemerintahan kolonial Belanda (1936). Tahun 1950 Soekarno ketika malakukan kunjungan ke Gorontalo dengan menggunakan pesawat ampibi dan mendarat di Danau Limboto.  Pesawat ampibi tersebut dipiloti oleh Wiweko Supono. Kala itu, pesawat ampibi masih bisa melakukan pendaratan dan berlabuh di Danau Limboto yang memiliki pantai pasir putih juga mempunyai debitnya air yang memungkinkan. Rumah ini akhirnya ditetapkan sebagai Cagar Budaya/Situs Rumah Pendaratan Soekarno oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Gorontalo. Pada 29 Juni 2002, rumah tersebut direnovasi yang kemudian diresmikan sebagai museum oleh Presiden RI yang kelima, Megawati Soekarnoputri. Di museum ini terdapat foto dokumentasi yang mengambarkan kedatangan Presiden Pertama RI, Soekarno ke Gorontalo. Selain dokumentasi juga terdapat barang-barang kuno dan bersejarah yang tersimpan hingga kini. Tak jauh dari lokasi museum, sekitar 2 km terdapat sebuah benteng yang merupakan bagian dari sejarah Gorontalo yaitu Benteng Otanaha. Hanya saja karena keterbatasan waktu maka rombongan peserta jelajah sepeda tidak sempat singgah di benteng tersebut. Kembali lagi untuk kedua kalinya melewatkan kesempatan untuk singgah di lokasi bersejarah.
Museum Pendaratan Ampibi Soekarno, Desa Iluta, Kecamatan Batudaa, Kabupaten Gorontalo.

Tak terasa sudah melalui jalan trans-Sulawesi selama sembilan hari. Akhir dari perjalanan di hari kesepuluh adalah di Kota Palopo, Sulawesi Selatan.  Beberapa meter sebelum sampai di garis finis di Platinum Hotel tepatnya di sudut jalan pertemuan antara Jalan Ahmad Yani dengan Jalan Andi Djemma terdapat bangunan masjid yang menarik saat melihatnya. Nampak sekali bangunan masjid itu sudah sangat berumur alias tua usia bangunannya. Kesempatan untuk menyambangi masjid datang ketika adzan Maghrib dikumandangkan sebagai tanda masuknya waktu sholat. Setelah melaksanakan sholat maghrib berjamaah barulah melihat ornamen-ornamen yang terdapat di bagian dalam masjid. Dari sebuah papan silsilah dan informasi barulah diketahui usia dan struktur bangunan masjid. Nama resmi dari masjid tersebut adalah Masjid Djami’ Toea Palopo-Loewoe yang didirikan tahun 1604 masehi oleh Fung Man Te. Masjid Palopo merupakan masjid kerajaan yang didirikan ketika Kerajaan Luwu sedang dalam masa kejayaannya. Seorang peserta dari Jakarta yang berdarah Makassar mengatakan belum sah kalau datang ke Palopo jika tidak sholat di Masjid Palopo dan bila sudah sholat di masjid tersebut maka akan datang kembali ke Palopo. Bahkan di masyarakat ada yang menyebutkan belum resmi ke kota Palopo jika belum menyentuh tiang utama Masjid Djami' Toea Palopo yang terbuat dari pohon Cinaduri dan dinding tembok yang menggunakan bahan campuran dari putih telur. Arsitektur nasjid ini memiliki keunikan karena memiliki empat unsur yaitu Bugis, Jawa, Hindu, dan Islam. Ada satu situs sejarah yang berada di Kota Palopo yaitu Istana Datu Luwu. Istana yang di bagian depannya berdiri tugu badik berdiri dengan megah dikelilingi kolam teratai. Istana yang terletak di Jalan Andi Tanripadang. Keterbatasan waktu jualah ketika singgah di Kota Palopo sehingga tidak sempat mengunjungi istana tersebut.
Masjid Djami' Toea Palopo
Kota Makassar memang akhir dari penjelajahan di Sulawesi tetapi bukan berarti situs sejarah juga ikut berakhir sehari sebelumnya. Di garis Pantai Losari Kota Makassar juga terdapat lokasi yang menjadi ikon kota dan wajib dikunjungi, tempat itu berbentuk benteng. Nama benteng tersebut adalah Fort Rotterdam dahulunya bernama Benteng Ujung Pandang. Benteng ini dibangun oleh Raja Gowa IX sekitar abad ke-15 yang berdiri di area seluas 3 hektare dengan tujuan sebagai markas pasukan Kerajaan Gowa yang fungsinya sebagai pertahanan rakyat Makassar dari penjajahan Belanda. Sayangnya benteng ini jatuh ke tangan Belanda sehingga namanya berubah menjadi Fort Rotterdam. Selain itu fungsinya pun berubah dari benteng pertahanan menjadi tempat penyimpanan rempah-rempah. Nama Fort Rotterdam dipakai karena Kota Rotterdam merupakan tanah kelahiran salah satu pemimpin Belanda di Makassar saat itu. Hingga sekarang nama yang digunakan benteng itu adalah Fort Rotterdam. Di salah satu bangunan yang terdapat di ujung benteng ini merupakan tempat pengasingan Pangeran Diponegoro hingga akhir hayatnya. Keunikan lain benteng ini saat dibangun oleh Raja Gowa adalah bangunan yang berbentuk badan penyu. Menurutnya filosofi dari penyu menjadi suatu simbol dari Kerjaan Gowa yaitu bisa berjaya di lautan maupun daratan. Waktu yang tepat untuk mengunjungi benteng ini adalah saat sore hari saat  matahari memancarakan sinar orange yang indah dan cantik. Cahaya yang mengenai benteng membuatnya menjadi menawan dan eksotik.
Benteng Fort Rotterdam sebelum direbut Kolonial Belanda bernama Benteng Ujung Pandang

Bagi saya ini menjadi kenangan dan pengalaman yang berharga ketika dapat singgah dan merasakan berbagai lokasi yang bersejarah atau mengandung nilai sejarah selama mengikuti jelajah sepeda di tanah Sulawesi. Meski hanya singgah sesaat dan sedikit informasi yang di dapat ketika berada di lokasi. Info lengkapnya baru didapat ketika sudah kembali ke rumah. Ternyata masih terdapat beberapa lokasi yang tidak sempat disinggahi seperti Gua Jepang di Tomohon dan Monumen Pongtiku di Rantepao, Toraja. Padahal posisi rombongan ketika melakukan regrouping di Tomohon adalah berjarak 3,6 km. Satu lagi peristiwa penting yang terlewati yaitu saat melintasi garis khatulistiwa. Posisi saat melintasi garis khatulistiwa berada di lautan sehingga penanda titik 0 derajat tersebut tidak berbentuk tugu. Saat melintasi ketika sedang berada di KMP Cengkih Afo saat menyebrangi Teluk Tomini maka yang mengetahui hanya para awak kapal. Saya melewatkannya begitu saja karena dalam pelayaran tersebut guncangan kapal sangat sering akibat ombak membuat mabuk laut padahal sejak keberangkatan sudah masuk dalam agenda perjalanan. Alangkah baiknya sebelum memulai perjalanan lakukan penyusunan daftar lokasi bersejarah yang dapat disinggahi di sepanjang jalur yang akan dilalui. Tidak ada penyesalan meskipun telah terlewati beberapa lokasi bersejarah yang lainnya. Semoga lain waktu saya dapat singgah di lokasi yang terlewatkan selama 14 hari di tanah Sulawesi.

Salam gowes...Jelajah Sepeda Manado-Makassar