Senin, 13 Juli 2015

Mengenalkan Anak-Anak pada Hasil Karya CGK Reinwardt

Foto bersama Kumpul Keluarga Mahitala Panagan '95 di pintu utama Kebun Raya Bogor.
Liburan sekolah merupakan saat yang biasa digunakan setiap orang tua untuk liburan bersama anak-anaknya. Dalam menentukan tempat liburan banyak hal yang dipertimbangkan diantaranya lokasi mana yang akan dituju, transportasi yang akan digunakan, akomodasinya, dan berapa biaya yang dibutuhkan. Hal yang penting dari liburan keluarga adalah apa yang bisa diraih sepulangnya dari sana, bukan sekadar kumpul bersama keluarga atau sekadar sampai di tujuan tetapi apa yang kita dapatkan selama liburan. Pengetahuan tambahan bisa didapat dari berlibur, bisa berupa mengunjungi museum, bangunan bersejarah yang menjadi bagian perkembangan kehidupan masyarakat di kota tersebut, atau bahkan menyicipi kuliner khasnya.

"Titik kumpul di Stasiun Tanjung Barat pada Hari Minggu pukul 08.00 WIB" 
isi pesan di grup whatsapp yang berhasil disepakati dengan tujuan Kebun Raya Bogor. Kegiatan mengisi liburan sekolah kali ini dengan melakukan kegiatan bersama teman-teman Mahitala Panagan (MP) URaL 28 setelah kemah keluarga di Batu Tapak, Cidahu, Sukabumi pada pertengahan tahun. 

Hari itu, Minggu (20 Desember 2014) pagi matahari bersinar terik membaut silau mata sehingga untuk berkumpul pun tidak di kursi yang terdapat di peron melainkan di area pintu masuk. 30 menit meleset dari waktu yang sudah disepakati. Itu pun sudah menyebabkan krucil-krucil gelisah tak sabar untuk segera naik kereta menuju Stasiun Bogor. Saya bersama istri dan anak-anak tiba terlebih dahulu di Stasiun Tanjung Barat disusul Hadi n keluarga lalu disusul Rima n Nisa. Selanjutnya Medyna bersama kedua anaknya terakhir Ipeh. Tak lama setelah kumpul semua peserta kami pun menuju peron, tak lama kemudian kereta commuter line tujuan Bogor memasuki stasiun. Meskipun hari Minggu gerbong yang kami masuki tak berarti sepi dari penumpang. Perjalanan dari Stasiun Tanjung Barat ke Stasiun Bogor ditempuh selama 45 menit. Perbincangan di dalam gerbong kereta membuat perjalanan terasa cepat. Kereta yang kami naiki pun berhenti di stasiun tujuan, Stasiun Bogor. 

Suasana dalam gerbong kereta commuter line saat naik dari Stasiun Tanjung Barat (kiri atas). Menyempatkan foto bersama di dalam perjalanan menuju Bogor (kanan atas). Bukti atas keberhasilan kami sampai di Stasiun Bogor dalam rangka Kumpul Keluarga Mahitala Panagan '95 di Kebun Raya Bogor (bawah).
Dari Stasiun Bogor kami memilih untuk menyewa angkot karena rombongan berjumlah 14 orang dan masih terdapat balita, pilihan ini diambil memudahkan kami untuk sampai ke lokasi. Deretan angkot yang mangkal di depan pintu keluar Stasiun Bogor memudahkan kami untuk memilihnya, angkot yang masih kosong menjadi pilihan utama. Tanpa banyak menawar harga, angkot pun mulai beranjak meninggalkan stasiun Bogor. Pagi itu situasi lalu lintas di Bogor masih belum banyak kendaraan tak sampai 10 menit angkot pun sampai di pintu gerbang utama Kebun Raya Bogor.

Sesampainya di gerbang masuk Kebun Raya Bogor kesempatan untuk berfoto bersama dengan berlatar belakang nama resmi kebun raya ini tak dilewatkan. Tak terlewatkan juga momen foto bersama khusus anak-anak di patung singa yang terdapat di area masuk. Setelah membeli karcis masuk, rombongan mengarah ke sisi kiri menuju bangunan yang berwarna putih berbentuk lingkaran yang terdiri dari 8 tiang penyangga. Bangunan tersebut adalah Tugu Lady Raffles.
Bangunan unik bernilai sejarah ini didirikan oleh Sir Thomas Stamford Raffles seorang Letnan Gubernur Inggris di Pulau Jawa (1811-1816) sebagai kenangan kepada istrinya Lady Olivia Mariamne yang meninggal di Buitenzorg, 20 November 1814. Sebagai istri gubernur, selama hidupnya ia memperkenalkan reformasi sosial di kalangan masyarakat Jawa. Lady Olivia meninggal pada usia 43 tahun karena malaria. Sebait kata-kata puitis dalam bahasa Inggris klasik yang anda temukan disini adalah tulisannya (Lady Olivia) sendiri. Monumen ini sempat dihancurkan oleh serangan angin pada 1 Januari 1970 tapi kemudian direkonstruksi 17 Agustus 1970.
Bagian yang paling menyentuh dari tugu tersebut adalah goresan cinta berupa larik-larik puisi karya Raffles.
Oh thou whom neer my constant heart

One moment hath forgot

Tho fate severe hath bid us part
Yet still – forget me not
Jika diterjemahkan secara bebas, maka makna puisi tersebut kurang lebih sebagai berikut, 
“Oh kau yang tak pernah satu kali pun terlupakan oleh detak jantungku. Takdir yang keji telah memisahkan kita. Namun, jangan pernah lupakan aku.”
Tugu Lady Raffles jika datang dari pintu utama (foto atas). Membaca informasi mengenai Tugu Lady Raffles (bawah).

Kemudian rombongan bergerak masuk ke arah telaga yang pada sisi lain dari telaga tersebut terdapat Istana Bogor. Rindangnya pohon membuat sinar matahari sulit menembus dedaunan hingga sedikit sinar yang berhasil mencapai tanah. Tiker bawaan dan tambahan yang dibeli di lokasi pun kami gelar guna menunggu Rini beserta keluarga. Sambil menunggu kedatangan Rini dan keluarga, bekal makanan yang dibawa pun mulai dikeluarkan dari tas untuk dicicipi satu per satu. Mulai dari siomay baik buatan sendiri maupun pesanan, cokelat oleh-oleh dari Eropa, hingga aneka cemilan lainnya. Saat mencicipi makanan bawaaan sambil menikmati kegembiraan anak-anak kami yang bermain bola dan berlarian. Bahkan tak jarang pandangan kami luput terhadap segala aktivitas anak-anak.

Akhirnya yang ditunggu-tunggu pun datang, Rini beserta keluarga. Selanjutnya posisi kumpul pun berpindah tempat guna mendekati ikon lain yang terdapat di dalam kebun raya yaitu Istana Bogor. Lokasi yang dipilih sebagai titik kumpul berikutnya adalah persis di samping Tugu Peringatan Reinwardt yang letaknya di sisi kolam yang berseberangan dengan Istana Bogor.
 Tugu yang diresmikan pada 17 Mei 2006 oleh Duta Besar Jerman Broudre-Groger bersama Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Umar Anggara Jenie bertepatan dengan peringatan 189 tahun Kebun Raya Bogor (KRB).
Saat pemilihan lokasi untuk duduk, kami tidak memperhatikan situasi di sekeliling, ternyata lokasi tersebut merupakan lokasi yang strategis untuk berfoto ria bagi pengunjung kebun raya karena berlatar belakang Istana Bogor. Tiker bawaan pun kembali digelar sebagai alas untuk duduk bercengkerama dan menikmati makan siang ala kadarnya yang dibawa dari rumah. Makan siang pun terasa nikmat karena dinikmati secara bersama-sama dan saling berbagi. Setelah menyantap makan siang dilanjutkan dengan foto bersama dengan seluruh peserta acara Kumpul Keluarga MP di Kebun Raya Bogor.

Lokasi terbaik untuk mengabadikan foto bersama dengan berlatar belakang Istana Bogor.
Foto bersama sebelum mengakhiri Kumpul Keluarga MP '95 di Kebun Raya Bogor, foto minus Darrian yang sibuk main bola.

Sejarah Kebun Raya Bogor

Sebelum terkenal sebagai lokasi wisata sejatinya Kebun Raya Bogor merupakan kawasan pemuliaan tanaman untuk penelitian dan budidaya yang terletak di halaman Istana Bogor. Ketika itu Istana Bogor didiami oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda atau Letnan Gubernur Jawa (1811-1816) Thomas Stamford Bingley Raffles. Berawal saat Kerajaan Belanda untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di Hindia-Belanda yang kemudian mengangkat Prof. Caspar George Karl Reinwardt selaku penasihat kebangsaan Jerman yang pindah ke Belanda sebagai Direktur Pertanian, Seni, dan Pendidikan Kerajaan Belanda untuk Pulau Jawa. Reinwardt tertarik untuk meneliti berbagai tanaman untuk pengobatan dan mulai melakukan pengumpulan dengan dibantu seorang ahli botani William Kent. Semua tanaman tersebut ditanam di halaman istana yang kemudian berkembang menjadi taman yang cantik. Oleh Raffles halaman istana dikembangkan menjadi taman bergaya Inggris klasik.

Tugu Prof. Caspar George Karl Reinwardt. (www.poskotanews.com)
15 April 1817, Reindwardt mencetuskan gagasan untuk mendirikan kebun botani. Kemudian, 18 Mei 1817, Kebun Raya Bogor diresmikan oleh Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip van der Capellen dengan nama awal Lands Plantentuin te Buitenzorg pada area seluas 47 hektare dengan menancapkan ayunan cangkul pertama. Sejak Reinwardt mencetuskan ide gagasan,  dia langsung memimpin pembangunan kebun raya dengan mengumpulkan tanaman dan benih dari bagian lain Indonesia yang dibantu oleh penata dan botanis James Hooper dan W. Kent dari Kebun Botani Kew di Richmond, Inggris yang amat tersohor di Eropa kal itu. Sejak saat itu, Reinwardt menjadi direktur pertama Kebun Raya Bogor hingga akhirnya kembali ke Belanda pada 1822.

Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara, kebun raya diduga menjadi bagian dari samida (hutan, kebun, atau taman buatan Kerajaan Pajajaran. Keberadaan samida teridentifikasi dalam Prasasti Batutulis untuk keperluan kelestarian lingkungan, dimana diperlukan kawasan khusus untuk memelihara benih kayu dan tanaman langka.

#LatePostEdition


Tidak ada komentar:

Posting Komentar