Jumat, 19 Desember 2014

Bayang-bayang Sepanjang Jalan

Selama mengikuti kegiatan Jelajah Sepeda Manado-Makassar yang diselenggarakan oleh Harian KOMPAS pada medio hingga akhir Agustus 2014 masih terdapat pengalaman yang menarik untuk ditulis. Penjelajahan berlangsung sejak pagi hingga sore hari bahkan beberapa diantaranya hingga malam hari. Oleh karena itu, setiap hari rombongan saat menjalani etape per etape selalu terpapar sinar matahari. Hanya satu jam saja iringan goweser tidak terkena sinar matahari. Ketika itu terjadi di etape ketiga dari Lolak (Bolaang Mongondow) menuju Boroko (Bolaang Mongondow Utara) pada sore hari sempat merasakan guyuran air hujan.

Selama penjelajahan tersebut mulai dari utara hingga selatan Sulawesi ada sesuatu yang menarik untuk dilihat. Ketika terpapar sinar matahari mulai dari pagi hingga sore akan muncul bayangan. Bisa dikatakan sebagai bayangan yang terpanjang karena selalu ada ketika menyusuri jalan sejauh hampir 1.600 km. Bayangan bisa muncul karena ada bagian yang tidak mendapatkan sinar matahari. Bayangan yang timbul tergantung waktu bersinarnya matahari, saat pagi dan sore hari bayangan yang timbul lebih panjang dari bendanya sehingga menarik untuk diabadikan baik dengan kamera poket maupun kamera telepon pintar. Pada matahari siang hari membentuk bayangan yang keras hasilnya sehingga kurang menarik untuk diabadikan. Elemen pendukung yang terdapat di sekitarnya harus dilibatkan dalam pengambilan gambar.
"Bayang-bayang berarti ruang yang tidak kenar sinar karena terlindung benda" 
(Kamus Besar Bahasa Indonesia) 

Beberapa foto rombongan dengan bayangan yang berhasil saya abadikan saat menjelajahi tanah Sulawesi selama 14 etape sebagian besar diambil pada pagi dan sore hari. Adapun foto yang saya abadikan di siang hari hanya sedikit karena kurang menarik dan untuk menyiasati foto tersebut agar enak untuk dilihat caranya dengan mengikutsertakan keadaan sekitarnya. Kombinasi antara rombongan pesepeda dengan bayangan yang dihasilkan dan bentangan alam juga menarik untuk diabadikan. Hampir semua foto yang saya tampilkan ini diabadikan ketika berada di posisi sedang meng-gowes.

Bayangan yang dihasilkan saat iringan pesepeda yang berbaris rapi ketika menjalani etape terakhir dari Pangkep menuju Makassar sejauh 58 km, Minggu (31 Agustus 2014).


Bayangan yang terbentuk ketika hari masih pagi menghasilkan bentuk yang lebih panjang dari goweser saat menjalani etape 14, Minggu (31 Agustus 2014). Foto diabadikan ketika rombongan baru saja meninggalkan kantor Semen Tonasa di Pangkajene dan Kepulauan. 

Kombinasi yang menarik untuk diabadikan ketika bayangan yang terbentuk dari rombongan pesepeda dengan bentangan alam saat menjalani etape Poso menuju Pendolo.
Iringan pesepeda ketika selepas start etape 3 dari Lolak (Bolaang Mongondow) menuju Boroko (Bolaang Mongondow Utara).

Bayangan yang timbul ketika para penjelajah sepeda menuju Pelabuhan Marisa yang terdapat di Propinsi Gorontalo untuk kemudian diangkut oleh KMP Cengkih Afo menuju Ampana (Sulawesi Tengah).

Sepeda yang tidak digunakan dan terkena paparan sinar matahari juga menarik untuk diabadikan karena bayangan yang dihasilkannya. Rombongan sedang istirahat setelah menjalani awal perjalanan etape 5 dari Kota Gorontalo menuju Marisa.

Bayangan keras hasil dari sinar matahari tengah hari kurang menarik untuk diabadikan karena letaknya tepat di bawah pesepeda ketika memasuki wilayah Tentena (Sulawesi Tengah). 

Rabu, 03 Desember 2014

Veni, Vidi, Vici

Istilah veni vidi vici sangat popular dalam dunia olah raga. Veni vidi vici digunakan sebagai nama klub bola voli dan sepatu roda di Jakarta. Veni vidi vici berarti ‘saya datang, saya lihat, saya menang’. Ungkapan kata tersebut sebagai penggambaran dari peserta atas kemenangan yang diraih ketika ikut bertanding untuk pertama kalinya dan langsung menjadi kampiun. Perjuangan Rudy Hartono saat meraih gelar All England 1968, dengan mengalahkan Tan Aik Huang (Malaysia), merupakan partisipasinya yang pertama pada ajang tersebut dan langsung menjadi juara.

Asal kata veni vidi vici berasal dari bahasa Latin yaitu venire (datang), videre (lihat), dan vincere (menang). Frase ini diucapkan pertama oleh Julius Caesar pada 47 SM. Julius Caesar merupakan salah satu pemimpin tertinggi di Romawi. Saat itu Romawi sedang terjadi perang saudara melawan Pompey dan Pharnances II. Setelah berhasil mengalahkan Pompey dan Pharnances II, Julius Cesar menjadi kaisar Romawi yang diktator sampai akhir hayatnya. Kabar kemenangan yang diraih dalam pertempuran singkat, sekitar 4 jam, melawan Pharnaces II dari Pontus di kota Zela, sekarang terkenal dengan Zile bagian dari Turki disampaikan Julius Caesar kepada senat dengan mengucapkan veni vidi vici. Julius Caesar menganggap bahwa dalam pertempuran tersebut dirinya tidak menggunakan senjata tetapi hanya dengan melihat dan akhirnya meraih kemenangan.

Patung Julius Caesar terbuat dari perunggu yang terdapat di Kota Roma, Italia.

Veni vidi vici yang diucapkan oleh Julius Caesar mengalami perbedaan arti di bidang olah raga. Kata vidi yang berarti saya lihat memiliki arti yang berbeda. Di olah raga untuk meraih kemenangan tidak dengan melihat, seperti Julius Caesar saat memenangi pertempuran, tetapi dengan melakukan pertandingan. Maka arti kata veni vidi vici dalam olah raga mengalamai perubahan arti, artinya menjadi saya lihat, saya bertanding, saya menang. 

Penggunaan kata veni vidi vici bukan hanya pada bidang olah raga saja tetapi digunakan juga pada bidang-bidang yang lainnya, seperti seni pertunjukan, musik, hiburan, dan literatur. Dalam bidang seni pertunjukan digunakan sebagai pembuka dari opera Julius Caesar in Egypt karya George Frideric Handel. Pada tahun 1940-an, lagu yang berjudul “These Foolish Things (Remind Me of You) terdapat syair “You came, you saw, you conquered”. Penyanyi Jay-Z pun dalam lagu “Encore” memuat syair yang berisikan “I came, I saw, I conquered”. Bahkan band setenar Blink-182, juga memakai kata-kata yang diucapkan Julius Caesar, dalam lagu “Adam’s Song” terdapat syair I never conquered, rarely came”.

(Naskah untuk rubrik Assist di Tabloid BOLA yang belum naik cetak)

Selasa, 02 Desember 2014

Mari Elka Pangestu: Pecahkan Rekor Pribadi


Mari Elka Pangestu turut serta pada etape 14 JSMM, Pangkep-Makassar.
Bersepeda memang bisa dilakukan oleh siapa pun. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu (57) membuktikan hal tersebut. Bahkan, dia bisa memecahkan rekor pribadinya.
Mari menemani para peserta gelaran Kompas Jelajah Sepeda Manado-Makassar ketika memasuki etape terakhir, Minggu (31/8). Jelajah Sepeda yang bertujuan untuk merajut Nusantara dari Sabang sampai Merauke dengan bersepeda. Kegiatan kali ini sudah memasuki tahun keenam sebelumnya jelajah sepeda Anyer-Panarukan (2008), Surabaya-Jakarta (2010), Jakarta-Palembang (2011), Bali-Komodo (2012), dan Sabang-Padang (2013). Kegiatan gowes kali ini mengambil start di kawasan Boulevard Kota Manado, Sulawesi Utara, dan mencapai finish di Monumen Mandala Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Penjelajahan ini ditempuh selama 14 hari dengan melewati 4 provinsi.

“Sebelumnya saya paling jauh bersepeda hanya 26 km ketika Minang Bike 2014. Saya ingin memecahkan rekor saya sendiri di ajang ini dan saya bisa,” ujar Mari.
Ya, Mari melahap jalanan sejauh 40 km dari Pangkep ke Makassar. Memang jarak Pangkep-Makassar terbentang 58 km, tapi Mari tak bisa menyelesaikan semuanya karena tekanan darahnya menurun. Alhasil, dia sempat berhenti di kilometer 34 dan sedikit melanjutkan perjalanan. Total dia menjajal 40 km.
“Saya sudah mengenal bersepeda sejak saya bersekolah di Amerika Serikat. Jadi, saya sudah terbiasa,” ungkap lulusan University of Califonia, Davis di Amerika Serikat ini.

Mari Elka Pangestu foto bersama peserta JSMM sesaat setelah memasuki lokasi finish di kawasan Monumen Mandala, Makassar, Sulawesi Selatan.


(Tulisan ini sudah naik cetak di rubrik Galeri Harian BOLA pada edisi Senin, 1 September 2014)

Lepas Kangen Berakhir di Sepiring Toge Goreng

Langit masih gelap suasana masih sunyi ketika bunyi alarm membangunkan saya untuk segera beranjak dari tempat tidur untuk segera menunaikan ibadah sholat Subuh. Saya lebih memilih tidur cepat daripada ikut teman-teman untuk menikmati udara malam di Riung Gunung. Malam sebelumnya saya hanya tidur sekitar 3 jam saja karena harus bangun pagi-pagi untuk gowes bersama Rocil KGC ke Hotel Santika Bogor lokasi titik kumpul acara temu kangen Jelajah Sepeda Manado Makassar sedangkan sampai rumah pukul 00.30 WIB setelah deadline. Setelah menunaikan sholat satu per satu rekan-rekan yang malam itu menginap di villa keluarganya Om Jack mulai beraktivitas kembali. Pak Djati dan Mas Priyo sudah selesai sholat dan sedang menyimak siaran berita di televisi. 

Sarapan pagi dilakukan di beranda yang sejak kedatangan kami selalu dijadikan tempat berkumpul baik untuk makan, bertukar cerita, maupun untuk istirahat sekadar merebahkan badan. Posisi beranda yang menghadap ke timur itu memberikan kehangatan kepada kami saat menikmati sarapan pagi sambil berbincang ketika sinar matahari muncul dari balik pepohonan. Dari beranda juga kita bisa melihat indahnya pemandangan alam dengan bentangan gunung yang menghijau. Tepat pukul 07.30 WIB seperti yang disepakati bersama, kami sudah siap untuk kembali pulang ke rumah masing-masing dan disepakati pula sebelum berpisah di Bogor untuk terlebih dahulu makan toge goreng. Om Jack sangat antusias sekali menawarkan ide itu karena mau merasakan makanan khas Bogor.


Rombongan yang tersisa dari Temu Kangen JSMM di Cisarua. (Dari kiri ke kanan) Om Jack, Mas Priyo, Azwar, Mas Wintolo, Pak Parman, Mas Krus, Daeng Yusri, Mas AH.


Panorama alam diabadikan dari beranda villa di Cisarua.

Sebelum meninggalkan villa, kami rombongan temu kangen JSMM yang tersisa foto bersama di taman beranda, setelah ngecek kondisi sepeda, dan masing-masing melakukan pemanasan. Kemudian kami beriringan keluar dari lokasi villa menuju jalan raya. Begitu keluar dari mulut gang ternyata kendaraan yang mengarah ke Gadog sudah padat merayarap. Kami pun harus mengambil jalan di sisi kanan antrian untuk menghindari kemacetan. Simpul kemacetan tersebut hanya sampai di depan Pasar Cisarua setelah itu laju kendaraan lancar jaya.Iringan kami pun tidak mendapatkan kendala hanya membutuhkan konsentrasi yang tinggi saat menuruni jalan raya puncak. Sesuai kesepakatan bersama saat berangkat, titik kumpul kembali berlokasi di Vimala Hills. Setelah meneguk air minum yang dibawa, perjalanan dilanjutkan. Dipimpin oleh Pak Djati, rekan goweser yang tinggal di Bogor.
Dari titik kumpul kami menyebrangi jalan dengan melewati kendaraan yang sedang mengular antri untuk naik ke arah Puncak. Jalur yang dipilih dengan melalui jalan alternatif yang berada di samping jalan tol. Jalan ini pastinya dilalui oleh pengendara yang malas untuk menghadapi kemacetan yang terjadi bila menuju puncak. Perjalanan kami sempat tersendat karena ada iringan rombongan pengantin nikah yang akan melakukan ijab-qobul. Setelah melewati rombongan itu sampai lah kami di area SPBU yang berada di sisi jalan tol Bogor-Ciawi terus menyusuri jalan hingga ketemu aliran Sungai Ciliwung yang mengarah ke Bendung Katulampa.

Kali ini bendung yang sangat terkenal bagi warga Jakarta ketika musim hujan hanya dilewati saja. Rombongan kami terus melaju menyusuri jalan yang sama ketika berangkat menuju Cisarua. Sesampainya di lokasi tempat penjual toge goreng yang terletak di samping terminal bis Baranangsiang yang bersebarangan dengan Hotel Santika nampak raut wajah sedikit kecewa karena si penjual belum memulai usahanya. Berdasarkan anjuran dari Pak Djati tujuan pun berubah ke lokasi yang lainnya. Perjalanan kami mengarah ke daerah Bogor Permai karena di sana terdapat pula penjual toge goreng yang terkenal dan dijamin enak. Kemudian kami menyusuri Jalan Pajajaran ke arah Warung Jambu setelah melewati RS PMI Bogor lalu kami berbelok ke Jalan Jalak Harupat yang ke arah lapangan Sempur. Pagi itu jalanan cukup ramai dan padat oleh aktivitas warga Bogor untuk menikmati hari bebas kendaraan bermotor hingga di pertigaan jalan pertemuan antara Jalan Jalak Harupat, Jalan Ir. H. Djuanda, dan Jalan Jendral Sudirman. Kami berbelok ke kanan menuju Jalan Jendral Sudirman tak sampai 600 meter dari pertigaan jalan hingga ke lokasi yang kami tuju sudah ada di depan mata. Begitu masuk ke parkiran langsung mencari area untuk menyenderkan sepeda dan langsung memesan toge goreng yang sudah diidam-idamkan sejak semalam.

Bangunan ikon Kota Bogor, Tugu Kujang yang terletak di pertemuan jalan antara Jalan Otto Iskandardinata dengan Jalan Pajajaran.
Lokasi warung toge goreng Ibu Hj. Omah di Bogor Permai. Wajah semringah Om Jack karena berhasil menuntaskan keinginannya untuk mencicipi makanan khas Bogor.

Makanan khas Bogor ini dikenal dengan nama toge goreng. Meskipun terdapat unsur kata goreng pada kenyataannya tidak ada satu bahan pun yang digoreng seperti biasanya, yaitu dengan menggunakan minyak panas. Yang ada hanya bahan utamanya yaitu toge dan mie kuning yang direndam air mendidih dalam  wajan datar yang terbuat dari tembaga. Proses perendaman togenya tidak lama agar tidak sampai layu. Semua bahan, ketupat, toge, potongan tahu rebus, dan mie kuning, disajikan dalam piring yang kemudian disiram dengan tauco. Tauco lah yang membedakan antara toge goreng buatan Ibu Hj. Omah dengan yang lainnya perbedaannya pada warna tauco. Tauconya berwarna kemerahan. 
Tauco adalah bumbu makanan yang terbuat dari biji kedelai. Perubahan dari biji kedelai sampai menjadi tauco karena sudah mengalami tahapan-tahapan yang tidak sebentar. Biji kedelai setelah dicuci dan direbus kemudian dihaluskan. Kedelai yang sudah dihaluskan ditambahkan tepung lalu diaduk hingga rata. Setelah teraduk dengan rata lalu ditaburi ragi tempe dan aduk kembali hingga tercampur rata. Fermentasi tauco dengan cara direndam dengan air garam kemudian dijemur pada terik matahari selama 4 minggu. Selama perendaman itu akan mengeluarkan aroma yang menyengat seperti bau ikan busuk atau aroma terasi atau air rendaman berubah warnanya menjadi coklat kemerahan.

Setelah melahap sepiring toge goreng yang tersaji dengan ditemani segelas air teh hangat terasa sekali nikmatnya. Keinginan yang terucap sejak semalam terlunaskan sudah. Perpisahan pun harus terjadi di lokasi toge goreng Ibu Hj. Omah. Om Jack diantar Mas AH untuk berjumpa dengan istri dan anaknya yang sudah menunggu di Macaroni Panggang serta Rocil KGC yang diantar oleh Pak Djati untuk sampai ke persimpangan Taman Yasmin. Sepiring toge goreng sudah mengakhiri kegiatan gowes bareng di temu kangen JSMM.
Salam gowes kuliner...

Proses penyajian dan seporsi toge goreng Ibu Hj. Omah beserta segelas air teh hangat.


Toge Goreng Ibu Hj. Omah
Bogor Permai
Jl. Jendral Sudirman No.23 A
Bogor