Senin, 13 Juli 2015

Mengenalkan Anak-Anak pada Hasil Karya CGK Reinwardt

Foto bersama Kumpul Keluarga Mahitala Panagan '95 di pintu utama Kebun Raya Bogor.
Liburan sekolah merupakan saat yang biasa digunakan setiap orang tua untuk liburan bersama anak-anaknya. Dalam menentukan tempat liburan banyak hal yang dipertimbangkan diantaranya lokasi mana yang akan dituju, transportasi yang akan digunakan, akomodasinya, dan berapa biaya yang dibutuhkan. Hal yang penting dari liburan keluarga adalah apa yang bisa diraih sepulangnya dari sana, bukan sekadar kumpul bersama keluarga atau sekadar sampai di tujuan tetapi apa yang kita dapatkan selama liburan. Pengetahuan tambahan bisa didapat dari berlibur, bisa berupa mengunjungi museum, bangunan bersejarah yang menjadi bagian perkembangan kehidupan masyarakat di kota tersebut, atau bahkan menyicipi kuliner khasnya.

"Titik kumpul di Stasiun Tanjung Barat pada Hari Minggu pukul 08.00 WIB" 
isi pesan di grup whatsapp yang berhasil disepakati dengan tujuan Kebun Raya Bogor. Kegiatan mengisi liburan sekolah kali ini dengan melakukan kegiatan bersama teman-teman Mahitala Panagan (MP) URaL 28 setelah kemah keluarga di Batu Tapak, Cidahu, Sukabumi pada pertengahan tahun. 

Hari itu, Minggu (20 Desember 2014) pagi matahari bersinar terik membaut silau mata sehingga untuk berkumpul pun tidak di kursi yang terdapat di peron melainkan di area pintu masuk. 30 menit meleset dari waktu yang sudah disepakati. Itu pun sudah menyebabkan krucil-krucil gelisah tak sabar untuk segera naik kereta menuju Stasiun Bogor. Saya bersama istri dan anak-anak tiba terlebih dahulu di Stasiun Tanjung Barat disusul Hadi n keluarga lalu disusul Rima n Nisa. Selanjutnya Medyna bersama kedua anaknya terakhir Ipeh. Tak lama setelah kumpul semua peserta kami pun menuju peron, tak lama kemudian kereta commuter line tujuan Bogor memasuki stasiun. Meskipun hari Minggu gerbong yang kami masuki tak berarti sepi dari penumpang. Perjalanan dari Stasiun Tanjung Barat ke Stasiun Bogor ditempuh selama 45 menit. Perbincangan di dalam gerbong kereta membuat perjalanan terasa cepat. Kereta yang kami naiki pun berhenti di stasiun tujuan, Stasiun Bogor. 

Suasana dalam gerbong kereta commuter line saat naik dari Stasiun Tanjung Barat (kiri atas). Menyempatkan foto bersama di dalam perjalanan menuju Bogor (kanan atas). Bukti atas keberhasilan kami sampai di Stasiun Bogor dalam rangka Kumpul Keluarga Mahitala Panagan '95 di Kebun Raya Bogor (bawah).
Dari Stasiun Bogor kami memilih untuk menyewa angkot karena rombongan berjumlah 14 orang dan masih terdapat balita, pilihan ini diambil memudahkan kami untuk sampai ke lokasi. Deretan angkot yang mangkal di depan pintu keluar Stasiun Bogor memudahkan kami untuk memilihnya, angkot yang masih kosong menjadi pilihan utama. Tanpa banyak menawar harga, angkot pun mulai beranjak meninggalkan stasiun Bogor. Pagi itu situasi lalu lintas di Bogor masih belum banyak kendaraan tak sampai 10 menit angkot pun sampai di pintu gerbang utama Kebun Raya Bogor.

Sesampainya di gerbang masuk Kebun Raya Bogor kesempatan untuk berfoto bersama dengan berlatar belakang nama resmi kebun raya ini tak dilewatkan. Tak terlewatkan juga momen foto bersama khusus anak-anak di patung singa yang terdapat di area masuk. Setelah membeli karcis masuk, rombongan mengarah ke sisi kiri menuju bangunan yang berwarna putih berbentuk lingkaran yang terdiri dari 8 tiang penyangga. Bangunan tersebut adalah Tugu Lady Raffles.
Bangunan unik bernilai sejarah ini didirikan oleh Sir Thomas Stamford Raffles seorang Letnan Gubernur Inggris di Pulau Jawa (1811-1816) sebagai kenangan kepada istrinya Lady Olivia Mariamne yang meninggal di Buitenzorg, 20 November 1814. Sebagai istri gubernur, selama hidupnya ia memperkenalkan reformasi sosial di kalangan masyarakat Jawa. Lady Olivia meninggal pada usia 43 tahun karena malaria. Sebait kata-kata puitis dalam bahasa Inggris klasik yang anda temukan disini adalah tulisannya (Lady Olivia) sendiri. Monumen ini sempat dihancurkan oleh serangan angin pada 1 Januari 1970 tapi kemudian direkonstruksi 17 Agustus 1970.
Bagian yang paling menyentuh dari tugu tersebut adalah goresan cinta berupa larik-larik puisi karya Raffles.
Oh thou whom neer my constant heart

One moment hath forgot

Tho fate severe hath bid us part
Yet still – forget me not
Jika diterjemahkan secara bebas, maka makna puisi tersebut kurang lebih sebagai berikut, 
“Oh kau yang tak pernah satu kali pun terlupakan oleh detak jantungku. Takdir yang keji telah memisahkan kita. Namun, jangan pernah lupakan aku.”
Tugu Lady Raffles jika datang dari pintu utama (foto atas). Membaca informasi mengenai Tugu Lady Raffles (bawah).

Kemudian rombongan bergerak masuk ke arah telaga yang pada sisi lain dari telaga tersebut terdapat Istana Bogor. Rindangnya pohon membuat sinar matahari sulit menembus dedaunan hingga sedikit sinar yang berhasil mencapai tanah. Tiker bawaan dan tambahan yang dibeli di lokasi pun kami gelar guna menunggu Rini beserta keluarga. Sambil menunggu kedatangan Rini dan keluarga, bekal makanan yang dibawa pun mulai dikeluarkan dari tas untuk dicicipi satu per satu. Mulai dari siomay baik buatan sendiri maupun pesanan, cokelat oleh-oleh dari Eropa, hingga aneka cemilan lainnya. Saat mencicipi makanan bawaaan sambil menikmati kegembiraan anak-anak kami yang bermain bola dan berlarian. Bahkan tak jarang pandangan kami luput terhadap segala aktivitas anak-anak.

Akhirnya yang ditunggu-tunggu pun datang, Rini beserta keluarga. Selanjutnya posisi kumpul pun berpindah tempat guna mendekati ikon lain yang terdapat di dalam kebun raya yaitu Istana Bogor. Lokasi yang dipilih sebagai titik kumpul berikutnya adalah persis di samping Tugu Peringatan Reinwardt yang letaknya di sisi kolam yang berseberangan dengan Istana Bogor.
 Tugu yang diresmikan pada 17 Mei 2006 oleh Duta Besar Jerman Broudre-Groger bersama Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Umar Anggara Jenie bertepatan dengan peringatan 189 tahun Kebun Raya Bogor (KRB).
Saat pemilihan lokasi untuk duduk, kami tidak memperhatikan situasi di sekeliling, ternyata lokasi tersebut merupakan lokasi yang strategis untuk berfoto ria bagi pengunjung kebun raya karena berlatar belakang Istana Bogor. Tiker bawaan pun kembali digelar sebagai alas untuk duduk bercengkerama dan menikmati makan siang ala kadarnya yang dibawa dari rumah. Makan siang pun terasa nikmat karena dinikmati secara bersama-sama dan saling berbagi. Setelah menyantap makan siang dilanjutkan dengan foto bersama dengan seluruh peserta acara Kumpul Keluarga MP di Kebun Raya Bogor.

Lokasi terbaik untuk mengabadikan foto bersama dengan berlatar belakang Istana Bogor.
Foto bersama sebelum mengakhiri Kumpul Keluarga MP '95 di Kebun Raya Bogor, foto minus Darrian yang sibuk main bola.

Sejarah Kebun Raya Bogor

Sebelum terkenal sebagai lokasi wisata sejatinya Kebun Raya Bogor merupakan kawasan pemuliaan tanaman untuk penelitian dan budidaya yang terletak di halaman Istana Bogor. Ketika itu Istana Bogor didiami oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda atau Letnan Gubernur Jawa (1811-1816) Thomas Stamford Bingley Raffles. Berawal saat Kerajaan Belanda untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di Hindia-Belanda yang kemudian mengangkat Prof. Caspar George Karl Reinwardt selaku penasihat kebangsaan Jerman yang pindah ke Belanda sebagai Direktur Pertanian, Seni, dan Pendidikan Kerajaan Belanda untuk Pulau Jawa. Reinwardt tertarik untuk meneliti berbagai tanaman untuk pengobatan dan mulai melakukan pengumpulan dengan dibantu seorang ahli botani William Kent. Semua tanaman tersebut ditanam di halaman istana yang kemudian berkembang menjadi taman yang cantik. Oleh Raffles halaman istana dikembangkan menjadi taman bergaya Inggris klasik.

Tugu Prof. Caspar George Karl Reinwardt. (www.poskotanews.com)
15 April 1817, Reindwardt mencetuskan gagasan untuk mendirikan kebun botani. Kemudian, 18 Mei 1817, Kebun Raya Bogor diresmikan oleh Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip van der Capellen dengan nama awal Lands Plantentuin te Buitenzorg pada area seluas 47 hektare dengan menancapkan ayunan cangkul pertama. Sejak Reinwardt mencetuskan ide gagasan,  dia langsung memimpin pembangunan kebun raya dengan mengumpulkan tanaman dan benih dari bagian lain Indonesia yang dibantu oleh penata dan botanis James Hooper dan W. Kent dari Kebun Botani Kew di Richmond, Inggris yang amat tersohor di Eropa kal itu. Sejak saat itu, Reinwardt menjadi direktur pertama Kebun Raya Bogor hingga akhirnya kembali ke Belanda pada 1822.

Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara, kebun raya diduga menjadi bagian dari samida (hutan, kebun, atau taman buatan Kerajaan Pajajaran. Keberadaan samida teridentifikasi dalam Prasasti Batutulis untuk keperluan kelestarian lingkungan, dimana diperlukan kawasan khusus untuk memelihara benih kayu dan tanaman langka.

#LatePostEdition


Jumat, 02 Januari 2015

Bermalam Tahun Baru Hijriah di Cianjur

Suasana lobi Green Costel, Cianjur, tempat kami bermalam di Cianjur pada malam pergantian tahun Hijriah.

Mulai tahun ajaran 2014-2015 putri kedua kami, Daneesa, memiliki aktivitas luar rumah yang rutin dari Senin-Jumat yaitu mulai masuk sekolah taman kanak-kanak. Berarti waktu interaksi saya dengannya menjadi berkurang. Rutinitas waktu kerja saya yang bekerja di Harian Olah Raga BOLA dimulai dari sore hingga selesai waktu tenggat menjelang tengah malam sehingga memiliki waktu yang banyak untuk berinteraksi dengan kedua putri kami di pagi hari. Oleh karena itu, saya dan istri selalu menyiapkan agenda kegiatan bersama anak-anak di akhir pekan dengan kegiatan yang bermanfaat dan bernilai pengetahuan. Misalnya dengan mengunjungi museum-museum yang terdapat di Jakarta maupun lokasi-lokasi yang memiliki nilai sejarah. Jika berkunjung ke daerah lain pun, kami akan mencari info-info lokasi bersejarah, museum, atau bangunan yang menjadi ciri khas daerah itu karena pastinya kami datangi. Terpenting buat kami adalah kualitas bersama anak-anak.

Ketika ada libur dalam rangka Tahun Baru Hijriah di akhir pekan terakhir Oktober, kami memutuskan untuk mengajak kedua putri kami untuk merasakan nikmatnya naik kereta api. Kereta api jalur Bogor-Sukabumi-Bogor yang kami pilih karena jalur perjalanannya yang indah untuk dinikmati dengan diapit gunung dan hamparan sawah di kanan-kiri rel. Pesan tiket sudah mudah dilakukan dengan menggunakan fasilitas  KAI Access dari telepon pintar lalu bayar di minimarket. Selesai melakukan pembayaran maka akan mendapatkan tiket dari KAI yang harus dicetak sebelum keberangkatan. Sudah sangat mudah untuk membeli tiket kereta dengan adanya teknologi internet.

Libur Tahun Baru Hijriah jatuh pada hari Sabtu (25 Oktober), buat saya yang bekerja di media cetak harian maka sehari sebelum hari libur, Jumat (24 Oktober), adalah hari libur buat saya. Selanjutnya, istri saya memutuskan untuk mengambil cuti sehari di Hari Jumat. Putri kedua kami saja yang masih sekolah pada hari Jumat tersebut, putri pertama kami libur karena ada pembagian hasil ulangan tengah semester. Kami pun menjemput putri kedua kami di sekolahnya kemudian langsung menuju Stasiun Bogor untuk memarkirkan kendaraan di area parkiran stasiun. Letak stasiun kereta Commuter Line dengan stasiun Kereta Api Pangrango yang menuju ke Sukabumi-Cianjur letaknya berbeda. Stasiun Bogor Paledang yang menjadi tujuan kami, stasiun ini dibangun sejak dioperasikan kembali kereta jalur Bogor-Sukabumi yang sempat mati sejak KRD Bumi Geulis berhenti beroperasi. Pukul 13.00 WIB, kami berempat sudah sampai di stasiun Bogor Paledang. Suasana sangat ramai oleh calon penumpang kereta api Siliwangi. Sayangnya fasilitas pendukung stasiun masih jauh dari layak yaitu peronnya tidak terdapat kursi calon penumpang dan atap penutup dari terpaan sinar matahari.


Arah datang menuju pintu masuk Stasiun Bogor Paledang dan situasi dalam stasiun yang belum didukung dengan fasilitas penumpang yang memadai. 

Perjalanan KA Pangrango hanya meleset sekitar 5 menit dari jadwal yang tertera di tiket pukul 13.25 WIB. Selepas Stasiun Bogor Paledang rangkaian kereta mulai menyisir area pemukiman yang terdapat di wilayah Kota Bogor hingga masuk ke Stasiun Batu Tulis. Selanjutnya, pemukiman mulai berkurang dan berganti dengan tebing di kanan-kiri rel. Setelah itu aliran sungai terdapat di sisi kiri yang dilanjutkan dengan hamparan sawah yang mengiringi perjalanan siang itu. Selain itu, nampak kereta api berjalan di antara kaki gunung. Dari jendela nampak sekali Gunung Salak (2.211 meter di atas permukaan laut/mdpl) dan Gunung Halimun (1.929 mdpl) di sisi kanan dan di sisi kiri terdapat Gunung Gede (2.958 mdpl) dan Gunung Pangrango (3.019 mdpl). Pemandangan indah ini bisa dinikmati hingga masuk ke Stasiun Gombong. Perjalanan dari Bogor hingga ke Sukabumi berlangsung selema 2,5 jam. Setelah menempuh perjalanan hampir 2,5 jam, KA Pangrango tiba di Stasiun Sukabumi dengan singgah di delapan stasiun, kami tidak turun dari kereta karena perjalanan Sukabumi-Cianjur pun menggunakan rangkaian kereta yang sama, hanya pindah tempat duduk saja.
Stasiun Sukabumi mulai dibangun tahun 1882. Letak stasiun ini terdapat di Jalan Stasiun Barat No. 2, Citamiang, Sukabumi, Jawa Barat, berada pada ketinggian 583 mdpl. Pembukaan Stasiun Sukabumi dilakukan setelah kereta Jakarta-Bogor dibuka. Pada awal pengopersian Stasiun Sukabumi terdapat 12 spoor (jalur) dan menjadi bagian dari perjalanan kereta Jakarta-Jogjakarta. Beberapa spoor digunakan untuk akses kereta barang, menuju gudang. Namun, saat ini tinggal tiga spoor saja yang ada. Stasiun Sukabumi masuk dalam Daop 1 Jakarta.
Ruang petugas perjalanan kereta dan ornamen interior Stasiun Sukabumi.

Perjalanan KA Pangrango dari Stasiun Sukabumi menuju Stasiun Cianjur menjadi bagian akhir dari perjalanan kami sekeluarga. Pada jalur tersebut terdapat sebuah ruas yang sangat terkenal, yaitu terowongan Lampegan. Selepas Stasiun Sukabumi para petugas kereta melakukan tugasnya untuk mengecek tiket semua penumpang. Kesempatan itu saya gunakan untuk bertanya dimana letak terowongan bersejarah tersebut. Petugas tersebut menjelaskan dengan rinci susunan stasiun dari Sukabumi menuju Cianjur dan letak terowongan Lampegan. Jika datang dari arah Bogor-Sukabumi letak terowongan antara Stasiun Cireungas dan Lampegan. Terowongan Lampegan memiliki panjang 686 meter merupakan terowongan pertama dibangun pada pemerintahan Hindia Belanda oleh perusahaan kereta api SS (Staats Spoorwegen) pada 1879 hingga 1882. Setelah peristiwa gempa bumi yang terjadi di wilayah Cianjur menyebabkan tanah longsor maka panjang terowongan saat ini menjadi 415 m.

Menurut Aditya, pemerhati sejarah kereta Indonesia, jalur Sukabumi-Cianjur merupakan bagian jalur utama kereta yang menghubungkan Bogor-Bandung. Jalur ini dibangun tahun 1883-1884 oleh perusahaan kereta Pemerintah Hindia Belanda Staatspoorwagen. Jalur ini menjadi jantung distribusi mengangkut hasil bumi teh, kopi, dan kina ke pelabuhan di Batavia. Jalur ini menjadi jalur utama kereta dari Jakarta-Bogor-Bandung sebelum jalur Cikampek selesai dibangun tahun 1906.
(Ke Cianjur-Sukabumi dengan Ular Besi; Kompas.com) 
Menurut penduduk setempat, nama terowongan berasal dari bahasa percakapan orang Belanda ketika kereta api memasuki terowongan. Setiapkali ada kereta yang akan masuk ke dalam terowongan, baik dari arah Cianjur maupun Sukabumi, kondektur spoor selalu meneriakan ‘steek Lampen aan’ yang berarti nyalakan lampu. Oleh penduduk setempat yang beretnis Sunda terdengar seperti kata lampegan.



Setelah 1 jam perjalanan akhirnya KA Pangrango memasuki Stasiun Cianjur. Stasiun yang terletak di Jalan Yulius Usman, Cianjur, berada di pusat wilayah Kabupaten Cianjur.
Stasiun Cianjur merupakan stasiun yang dibangun oleh SS (Staat Spoorwegen) pada tahun 1884 bersamaan selesainya pembangunan jalur kereta tahap kedua dan diawalinya pembangunan jalur kereta tahap ketiga.
Pembangunan tahap pertama adalah jaringan rel kereta api dari Batavia ke Bogor pada 1873. Kemudian tahap kedua antara 1881 sampai 1883, dibangun rel kereta dari Bogor ke Cicurug, dari Batavia ke Cianjur, dan Cianjur ke Sukabumi. Sedangkan Cianjur menuju Bandung mulai dibangun satu tahun sesudahnya atau pada 1884, dan kemudian terus menuju Surabaya, Jogja, dan Cilacap.
Jalur di Cianjur dibuat dengan alasan posisi Kabupaten Cianjur yang pada saat itu menjadi ibukota Karisidenan Priangan. Apalagi banyak kebon kopi dan teh, sehingga distribusinya lebih mudah menggunakan kereta untuk dikirimkan ke pelabuhan Batavia atau Jakarta.
Kami menyempatkan untuk berfoto ria di area stasiun. Selanjutnya dari stasiun kami keluar ke arah kanan dengan berjalan kaki ke arah Jalan Moch. Ali. Sesampainya di Jalan Moch. Ali, kami belok ke kiri kemudian menyusuri jalan hingga ketemua perempatan antara Jl. Moch Ali, Jl. Mangusarkoro, dan Jl. Siti Jenab. Aplikasi waze membantu kami dalam menyusuri jalan di pusat Kabupaten Cianjur, perjalanan dilanjutkan ke arah Jl. Siti Jenab dengan tujuan Masjid Agung Cianjur. Letak masjid tersebut yang merupakan bagian dari sejarah kehidupan masyarakat Cianjur berseberangan dengan Kantor Bupati Cianjur dan Kantor Pos Cianjur. Setelah bersitirahat sejenak untuk melihat ketiga bangunan bersejarah, kami melanjutkan dengan naik angkot menuju tempat kami bermalam yang terletak di Jl. dr. Muwardi yang terkenal dengan jalan by pass. Berdasarkan info yang diberikan rekan kantor istri saya, penginapan kami konsepnya bed & breakfast. Green Costel merupakan penginapan baru, info itu kami dapatkan dari sesama penumpang angkot yang sempat ditanyakan oleh istri saya. Anak-anak merasa nyaman dengan suasana kamar yang tidak terlalu luas, bersih, interior minimalis, dan kamar mandi yang bersih.


Stasiun Cianjur tampak dari depan, merupakan bangunan bersejarah yang terdapat di pusat Kabupaten Cianjur.

Bermalamlah kami di Cianjur untuk menikmati malam pergantian tahun Hijriah. Kebersamaan seperti ini yang ingin kami pertahankan. Bukan hanya mengajak anak-anak untuk berkunjung ke suatu daerah tetapi juga mendapatkan tambahan pengetahuan dari bangunan bersejarah yang terdapat di daerah tersebut. Semoga di tahun yang akan datang kami masih berkesempatan untuk kembali bermalam di Cianjur.

(Searah jarum jam) 1. Lonceng yang terdapat di Kantor Pemerintahan Kabupaten Cianjur tertera tulisan "BATAVIA 1774". 2. Salah satu menara Masjid Agung Cianjur. 3. Post- en telegraafkantoor te Tjiandjoer. 4. Sate Maranggi dengan bumbu sambal oncom dan nasi kuning salah satu kuliner khas Cianjur.

Jumat, 19 Desember 2014

Bayang-bayang Sepanjang Jalan

Selama mengikuti kegiatan Jelajah Sepeda Manado-Makassar yang diselenggarakan oleh Harian KOMPAS pada medio hingga akhir Agustus 2014 masih terdapat pengalaman yang menarik untuk ditulis. Penjelajahan berlangsung sejak pagi hingga sore hari bahkan beberapa diantaranya hingga malam hari. Oleh karena itu, setiap hari rombongan saat menjalani etape per etape selalu terpapar sinar matahari. Hanya satu jam saja iringan goweser tidak terkena sinar matahari. Ketika itu terjadi di etape ketiga dari Lolak (Bolaang Mongondow) menuju Boroko (Bolaang Mongondow Utara) pada sore hari sempat merasakan guyuran air hujan.

Selama penjelajahan tersebut mulai dari utara hingga selatan Sulawesi ada sesuatu yang menarik untuk dilihat. Ketika terpapar sinar matahari mulai dari pagi hingga sore akan muncul bayangan. Bisa dikatakan sebagai bayangan yang terpanjang karena selalu ada ketika menyusuri jalan sejauh hampir 1.600 km. Bayangan bisa muncul karena ada bagian yang tidak mendapatkan sinar matahari. Bayangan yang timbul tergantung waktu bersinarnya matahari, saat pagi dan sore hari bayangan yang timbul lebih panjang dari bendanya sehingga menarik untuk diabadikan baik dengan kamera poket maupun kamera telepon pintar. Pada matahari siang hari membentuk bayangan yang keras hasilnya sehingga kurang menarik untuk diabadikan. Elemen pendukung yang terdapat di sekitarnya harus dilibatkan dalam pengambilan gambar.
"Bayang-bayang berarti ruang yang tidak kenar sinar karena terlindung benda" 
(Kamus Besar Bahasa Indonesia) 

Beberapa foto rombongan dengan bayangan yang berhasil saya abadikan saat menjelajahi tanah Sulawesi selama 14 etape sebagian besar diambil pada pagi dan sore hari. Adapun foto yang saya abadikan di siang hari hanya sedikit karena kurang menarik dan untuk menyiasati foto tersebut agar enak untuk dilihat caranya dengan mengikutsertakan keadaan sekitarnya. Kombinasi antara rombongan pesepeda dengan bayangan yang dihasilkan dan bentangan alam juga menarik untuk diabadikan. Hampir semua foto yang saya tampilkan ini diabadikan ketika berada di posisi sedang meng-gowes.

Bayangan yang dihasilkan saat iringan pesepeda yang berbaris rapi ketika menjalani etape terakhir dari Pangkep menuju Makassar sejauh 58 km, Minggu (31 Agustus 2014).


Bayangan yang terbentuk ketika hari masih pagi menghasilkan bentuk yang lebih panjang dari goweser saat menjalani etape 14, Minggu (31 Agustus 2014). Foto diabadikan ketika rombongan baru saja meninggalkan kantor Semen Tonasa di Pangkajene dan Kepulauan. 

Kombinasi yang menarik untuk diabadikan ketika bayangan yang terbentuk dari rombongan pesepeda dengan bentangan alam saat menjalani etape Poso menuju Pendolo.
Iringan pesepeda ketika selepas start etape 3 dari Lolak (Bolaang Mongondow) menuju Boroko (Bolaang Mongondow Utara).

Bayangan yang timbul ketika para penjelajah sepeda menuju Pelabuhan Marisa yang terdapat di Propinsi Gorontalo untuk kemudian diangkut oleh KMP Cengkih Afo menuju Ampana (Sulawesi Tengah).

Sepeda yang tidak digunakan dan terkena paparan sinar matahari juga menarik untuk diabadikan karena bayangan yang dihasilkannya. Rombongan sedang istirahat setelah menjalani awal perjalanan etape 5 dari Kota Gorontalo menuju Marisa.

Bayangan keras hasil dari sinar matahari tengah hari kurang menarik untuk diabadikan karena letaknya tepat di bawah pesepeda ketika memasuki wilayah Tentena (Sulawesi Tengah). 

Rabu, 03 Desember 2014

Veni, Vidi, Vici

Istilah veni vidi vici sangat popular dalam dunia olah raga. Veni vidi vici digunakan sebagai nama klub bola voli dan sepatu roda di Jakarta. Veni vidi vici berarti ‘saya datang, saya lihat, saya menang’. Ungkapan kata tersebut sebagai penggambaran dari peserta atas kemenangan yang diraih ketika ikut bertanding untuk pertama kalinya dan langsung menjadi kampiun. Perjuangan Rudy Hartono saat meraih gelar All England 1968, dengan mengalahkan Tan Aik Huang (Malaysia), merupakan partisipasinya yang pertama pada ajang tersebut dan langsung menjadi juara.

Asal kata veni vidi vici berasal dari bahasa Latin yaitu venire (datang), videre (lihat), dan vincere (menang). Frase ini diucapkan pertama oleh Julius Caesar pada 47 SM. Julius Caesar merupakan salah satu pemimpin tertinggi di Romawi. Saat itu Romawi sedang terjadi perang saudara melawan Pompey dan Pharnances II. Setelah berhasil mengalahkan Pompey dan Pharnances II, Julius Cesar menjadi kaisar Romawi yang diktator sampai akhir hayatnya. Kabar kemenangan yang diraih dalam pertempuran singkat, sekitar 4 jam, melawan Pharnaces II dari Pontus di kota Zela, sekarang terkenal dengan Zile bagian dari Turki disampaikan Julius Caesar kepada senat dengan mengucapkan veni vidi vici. Julius Caesar menganggap bahwa dalam pertempuran tersebut dirinya tidak menggunakan senjata tetapi hanya dengan melihat dan akhirnya meraih kemenangan.

Patung Julius Caesar terbuat dari perunggu yang terdapat di Kota Roma, Italia.

Veni vidi vici yang diucapkan oleh Julius Caesar mengalami perbedaan arti di bidang olah raga. Kata vidi yang berarti saya lihat memiliki arti yang berbeda. Di olah raga untuk meraih kemenangan tidak dengan melihat, seperti Julius Caesar saat memenangi pertempuran, tetapi dengan melakukan pertandingan. Maka arti kata veni vidi vici dalam olah raga mengalamai perubahan arti, artinya menjadi saya lihat, saya bertanding, saya menang. 

Penggunaan kata veni vidi vici bukan hanya pada bidang olah raga saja tetapi digunakan juga pada bidang-bidang yang lainnya, seperti seni pertunjukan, musik, hiburan, dan literatur. Dalam bidang seni pertunjukan digunakan sebagai pembuka dari opera Julius Caesar in Egypt karya George Frideric Handel. Pada tahun 1940-an, lagu yang berjudul “These Foolish Things (Remind Me of You) terdapat syair “You came, you saw, you conquered”. Penyanyi Jay-Z pun dalam lagu “Encore” memuat syair yang berisikan “I came, I saw, I conquered”. Bahkan band setenar Blink-182, juga memakai kata-kata yang diucapkan Julius Caesar, dalam lagu “Adam’s Song” terdapat syair I never conquered, rarely came”.

(Naskah untuk rubrik Assist di Tabloid BOLA yang belum naik cetak)

Selasa, 02 Desember 2014

Mari Elka Pangestu: Pecahkan Rekor Pribadi


Mari Elka Pangestu turut serta pada etape 14 JSMM, Pangkep-Makassar.
Bersepeda memang bisa dilakukan oleh siapa pun. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu (57) membuktikan hal tersebut. Bahkan, dia bisa memecahkan rekor pribadinya.
Mari menemani para peserta gelaran Kompas Jelajah Sepeda Manado-Makassar ketika memasuki etape terakhir, Minggu (31/8). Jelajah Sepeda yang bertujuan untuk merajut Nusantara dari Sabang sampai Merauke dengan bersepeda. Kegiatan kali ini sudah memasuki tahun keenam sebelumnya jelajah sepeda Anyer-Panarukan (2008), Surabaya-Jakarta (2010), Jakarta-Palembang (2011), Bali-Komodo (2012), dan Sabang-Padang (2013). Kegiatan gowes kali ini mengambil start di kawasan Boulevard Kota Manado, Sulawesi Utara, dan mencapai finish di Monumen Mandala Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Penjelajahan ini ditempuh selama 14 hari dengan melewati 4 provinsi.

“Sebelumnya saya paling jauh bersepeda hanya 26 km ketika Minang Bike 2014. Saya ingin memecahkan rekor saya sendiri di ajang ini dan saya bisa,” ujar Mari.
Ya, Mari melahap jalanan sejauh 40 km dari Pangkep ke Makassar. Memang jarak Pangkep-Makassar terbentang 58 km, tapi Mari tak bisa menyelesaikan semuanya karena tekanan darahnya menurun. Alhasil, dia sempat berhenti di kilometer 34 dan sedikit melanjutkan perjalanan. Total dia menjajal 40 km.
“Saya sudah mengenal bersepeda sejak saya bersekolah di Amerika Serikat. Jadi, saya sudah terbiasa,” ungkap lulusan University of Califonia, Davis di Amerika Serikat ini.

Mari Elka Pangestu foto bersama peserta JSMM sesaat setelah memasuki lokasi finish di kawasan Monumen Mandala, Makassar, Sulawesi Selatan.


(Tulisan ini sudah naik cetak di rubrik Galeri Harian BOLA pada edisi Senin, 1 September 2014)

Lepas Kangen Berakhir di Sepiring Toge Goreng

Langit masih gelap suasana masih sunyi ketika bunyi alarm membangunkan saya untuk segera beranjak dari tempat tidur untuk segera menunaikan ibadah sholat Subuh. Saya lebih memilih tidur cepat daripada ikut teman-teman untuk menikmati udara malam di Riung Gunung. Malam sebelumnya saya hanya tidur sekitar 3 jam saja karena harus bangun pagi-pagi untuk gowes bersama Rocil KGC ke Hotel Santika Bogor lokasi titik kumpul acara temu kangen Jelajah Sepeda Manado Makassar sedangkan sampai rumah pukul 00.30 WIB setelah deadline. Setelah menunaikan sholat satu per satu rekan-rekan yang malam itu menginap di villa keluarganya Om Jack mulai beraktivitas kembali. Pak Djati dan Mas Priyo sudah selesai sholat dan sedang menyimak siaran berita di televisi. 

Sarapan pagi dilakukan di beranda yang sejak kedatangan kami selalu dijadikan tempat berkumpul baik untuk makan, bertukar cerita, maupun untuk istirahat sekadar merebahkan badan. Posisi beranda yang menghadap ke timur itu memberikan kehangatan kepada kami saat menikmati sarapan pagi sambil berbincang ketika sinar matahari muncul dari balik pepohonan. Dari beranda juga kita bisa melihat indahnya pemandangan alam dengan bentangan gunung yang menghijau. Tepat pukul 07.30 WIB seperti yang disepakati bersama, kami sudah siap untuk kembali pulang ke rumah masing-masing dan disepakati pula sebelum berpisah di Bogor untuk terlebih dahulu makan toge goreng. Om Jack sangat antusias sekali menawarkan ide itu karena mau merasakan makanan khas Bogor.


Rombongan yang tersisa dari Temu Kangen JSMM di Cisarua. (Dari kiri ke kanan) Om Jack, Mas Priyo, Azwar, Mas Wintolo, Pak Parman, Mas Krus, Daeng Yusri, Mas AH.


Panorama alam diabadikan dari beranda villa di Cisarua.

Sebelum meninggalkan villa, kami rombongan temu kangen JSMM yang tersisa foto bersama di taman beranda, setelah ngecek kondisi sepeda, dan masing-masing melakukan pemanasan. Kemudian kami beriringan keluar dari lokasi villa menuju jalan raya. Begitu keluar dari mulut gang ternyata kendaraan yang mengarah ke Gadog sudah padat merayarap. Kami pun harus mengambil jalan di sisi kanan antrian untuk menghindari kemacetan. Simpul kemacetan tersebut hanya sampai di depan Pasar Cisarua setelah itu laju kendaraan lancar jaya.Iringan kami pun tidak mendapatkan kendala hanya membutuhkan konsentrasi yang tinggi saat menuruni jalan raya puncak. Sesuai kesepakatan bersama saat berangkat, titik kumpul kembali berlokasi di Vimala Hills. Setelah meneguk air minum yang dibawa, perjalanan dilanjutkan. Dipimpin oleh Pak Djati, rekan goweser yang tinggal di Bogor.
Dari titik kumpul kami menyebrangi jalan dengan melewati kendaraan yang sedang mengular antri untuk naik ke arah Puncak. Jalur yang dipilih dengan melalui jalan alternatif yang berada di samping jalan tol. Jalan ini pastinya dilalui oleh pengendara yang malas untuk menghadapi kemacetan yang terjadi bila menuju puncak. Perjalanan kami sempat tersendat karena ada iringan rombongan pengantin nikah yang akan melakukan ijab-qobul. Setelah melewati rombongan itu sampai lah kami di area SPBU yang berada di sisi jalan tol Bogor-Ciawi terus menyusuri jalan hingga ketemu aliran Sungai Ciliwung yang mengarah ke Bendung Katulampa.

Kali ini bendung yang sangat terkenal bagi warga Jakarta ketika musim hujan hanya dilewati saja. Rombongan kami terus melaju menyusuri jalan yang sama ketika berangkat menuju Cisarua. Sesampainya di lokasi tempat penjual toge goreng yang terletak di samping terminal bis Baranangsiang yang bersebarangan dengan Hotel Santika nampak raut wajah sedikit kecewa karena si penjual belum memulai usahanya. Berdasarkan anjuran dari Pak Djati tujuan pun berubah ke lokasi yang lainnya. Perjalanan kami mengarah ke daerah Bogor Permai karena di sana terdapat pula penjual toge goreng yang terkenal dan dijamin enak. Kemudian kami menyusuri Jalan Pajajaran ke arah Warung Jambu setelah melewati RS PMI Bogor lalu kami berbelok ke Jalan Jalak Harupat yang ke arah lapangan Sempur. Pagi itu jalanan cukup ramai dan padat oleh aktivitas warga Bogor untuk menikmati hari bebas kendaraan bermotor hingga di pertigaan jalan pertemuan antara Jalan Jalak Harupat, Jalan Ir. H. Djuanda, dan Jalan Jendral Sudirman. Kami berbelok ke kanan menuju Jalan Jendral Sudirman tak sampai 600 meter dari pertigaan jalan hingga ke lokasi yang kami tuju sudah ada di depan mata. Begitu masuk ke parkiran langsung mencari area untuk menyenderkan sepeda dan langsung memesan toge goreng yang sudah diidam-idamkan sejak semalam.

Bangunan ikon Kota Bogor, Tugu Kujang yang terletak di pertemuan jalan antara Jalan Otto Iskandardinata dengan Jalan Pajajaran.
Lokasi warung toge goreng Ibu Hj. Omah di Bogor Permai. Wajah semringah Om Jack karena berhasil menuntaskan keinginannya untuk mencicipi makanan khas Bogor.

Makanan khas Bogor ini dikenal dengan nama toge goreng. Meskipun terdapat unsur kata goreng pada kenyataannya tidak ada satu bahan pun yang digoreng seperti biasanya, yaitu dengan menggunakan minyak panas. Yang ada hanya bahan utamanya yaitu toge dan mie kuning yang direndam air mendidih dalam  wajan datar yang terbuat dari tembaga. Proses perendaman togenya tidak lama agar tidak sampai layu. Semua bahan, ketupat, toge, potongan tahu rebus, dan mie kuning, disajikan dalam piring yang kemudian disiram dengan tauco. Tauco lah yang membedakan antara toge goreng buatan Ibu Hj. Omah dengan yang lainnya perbedaannya pada warna tauco. Tauconya berwarna kemerahan. 
Tauco adalah bumbu makanan yang terbuat dari biji kedelai. Perubahan dari biji kedelai sampai menjadi tauco karena sudah mengalami tahapan-tahapan yang tidak sebentar. Biji kedelai setelah dicuci dan direbus kemudian dihaluskan. Kedelai yang sudah dihaluskan ditambahkan tepung lalu diaduk hingga rata. Setelah teraduk dengan rata lalu ditaburi ragi tempe dan aduk kembali hingga tercampur rata. Fermentasi tauco dengan cara direndam dengan air garam kemudian dijemur pada terik matahari selama 4 minggu. Selama perendaman itu akan mengeluarkan aroma yang menyengat seperti bau ikan busuk atau aroma terasi atau air rendaman berubah warnanya menjadi coklat kemerahan.

Setelah melahap sepiring toge goreng yang tersaji dengan ditemani segelas air teh hangat terasa sekali nikmatnya. Keinginan yang terucap sejak semalam terlunaskan sudah. Perpisahan pun harus terjadi di lokasi toge goreng Ibu Hj. Omah. Om Jack diantar Mas AH untuk berjumpa dengan istri dan anaknya yang sudah menunggu di Macaroni Panggang serta Rocil KGC yang diantar oleh Pak Djati untuk sampai ke persimpangan Taman Yasmin. Sepiring toge goreng sudah mengakhiri kegiatan gowes bareng di temu kangen JSMM.
Salam gowes kuliner...

Proses penyajian dan seporsi toge goreng Ibu Hj. Omah beserta segelas air teh hangat.


Toge Goreng Ibu Hj. Omah
Bogor Permai
Jl. Jendral Sudirman No.23 A
Bogor

Jumat, 28 November 2014

Indahnya Jingga di Langit Senja Lolak

Salah satu aksi saat menikmati warna langit senja di Lolak.


Titik akhir dari perjalanan etape 2 dari penjelajahan dengan sepeda di Sulawesi yang bertajuk KOMPAS Jelajah Sepeda Manado-Makassar 2014 yaitu di Lolak. Lolak masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Hari itu, Selasa (19 Agustus 2014), etape ini menempuh jarak sejauh 112,2 km. Berangkat dari Hotel Prince di Amurang lalu melakukan seremonial start di Kantor Pemerintahan Kabupaten Minahasa Selatan. Perjalanan pada etape tersebut masih terasa berat selain rute yang dilaluinya sudah melebihi 100 km dan medan rolling ringan sudah mulai dijalani. Selain itu hambatan yang harus dihadapi rombongan adalah embusan angin yang kencang di 20 km menjelang finish. Kondisi angin yang kencang ini sudah disiasati dengan membentuk iringan yang teratur berdasarkan pada masukan dari road captain n marshal.

Rute etape 2 JSMM, Amurang (Minahasa Selatan) - Lolak (Bolaang Mongondow).

Akhirnya perjlanan etape 2 ini sampai di garis finish yang terdapat di markas Batalyon Artiteri Medan 19/105 Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow. Saat memasuki garis finish jam menunjukkan pukul 17.10 WITA. Penyambutan oleh prajurit Yon Armed dengan menampilkan hiburan organ tunggal menjadi penghibur bagi rombongan. Bahkan peserta jelajah didaulat untuk memberikan suara merdunya, goweser yang menyumbahkan suara merdunya adalah Uwa Edi dan Om Chandra. Selagi mendengarkan alunan musik dan suara penyanyi, peserta yang lainnya menikmati minuman dingin yang menyegarkan tenggorokan sehabis melakukan perjalanan jauh. Terdapat sebuah tenda pleton yg didirikan di depan gedung serbaguna dengan kursi-kursi yang tersusun rapi.

Matahari senja perlahan-lahan turun di ufuk barat sebelum masuk ke peraduan. Entah rekan-rekan goweser JSMM sangat terhibur dengan alunan musik atau sibuk dengan koper masing-masing sehingga warna langit yang menjadi jingga luput dari pantauan. Saya pun hampir saja terlewatkan indahnya langit senja di Lolak jika saja tidak mengambil air mineral di mobil logistik. Kebiasaan selalu meminum banyak air ketika mencapai garis finish ternyata memberikan keuntungan yang lain. Dari mobil dobel kabin patwal Polres Bolaang Mongondow saya menikmati perubahan warna langit sore bersama beberapa rekan saja. Rani yang dalam jelajah ini mempunyai tugas selain sebagai peserta juga sebagai peliput langsung mengeluarkan kamera digital-nya untuk mengabadikan indahnya warna langit Lolak. Tak terkecuali anggota tim medis, dokter Dito yang langsung beraksi ketika meilhat Rani mulai mengambil gambar sehingga posenya menjadi gambar siluet yang bagus. Selain kami bertiga, Susi langsung minta bantuan untuk difoto dengan kameranya dan langsung pose bak model bersama sepedanya berlatar belakang warna oranye langit Lolak. Setelah puas menikmati langsung maupun mengabadikan dengan kamera indahnya langit senja Lolak yang mayoritas dipenugi jingga perlahan-lahan sang mentari hilang dari langit sore yang kemudian berganti malam.

Terima kasih Lolak...langit senjamu sudah memberikan kesenangan dan hiburan buat kami para goweser yang bermalam di markas Yon Armed. Pengalaman indah kami selama menjelajah tanah Sulawesi akan selalu teringat.




Langit senja Lolak yang didominasi dengan warna jingga. Beberapa foto yang berhasil terekam oleh kamera rekan-rekan.